07 Oktober 2012

Kebohongan Abd. Aziz (Ustad Wahabi) Dibongkar Oleh Pemeluk Hindu Menggugat Kesaksian Ustadz “Ida Bagus” Abdul Aziz



  (Oleh: I. K. Sugiartha)
Apakah sama  agama dan  tradisi?  Secara umum dapat dijelaskan, bahwa Agama  adalah pengikat jiwa yang menuntun jalan mencapai Tuhan. Sementara tradisi adalah kebiasaan-kebiasaan di dalam melaksanakan ajaran agama.   Namun  seorang Ustadz Abdul Aziz,   yang mengaku mantan Hindu,  mengidentikan tradisi  dengan agama Hindu.  Padahal  Pak Ustadz ini,  katanya, sudah  menyandang gelar  sarjana agama (SAg) Hindu dan sudah belajar Hindu selama 25 tahun, serta  menguasai Yoga Samadi. Bukan main. Tetapi, kenapa dia meninggalkan Hindu. Benarkah Mantram Tryambakam kalah dengan  suara Takbir?

Kesaksian Menjadi Muslim
Inilah rangkuman kesaksian Ustadz Abdul Aziz yang disampaikan di dalam sebuah pengajian  yang bertajuk  ‘’Kesaksian Hidayah Mantan Pemeluk Hindu’’ di Surakarta, Jawa Tengah,  pada Rabu, 21 Juli 2010, rekamannya beredar di tengah-tengah masyarakat,  penulis sampaikan dengan gaya bertutur seperti berikut ini.
Sebelum saya masuk Islam, agama saya adalah Hindu.  Pendidikan saya Sarjana Agama  Hindu.  Saya mempelajari Hindu sudah dua puluh lima tahun.  Orang mungkin tidak akan percaya kalau saya bisa  sampai masuk Islam. Saya berkasta brahmana. Nama depan saya  ‘’Ida Bagus’’ (dia tidak menyebutkan nama Hindunya).  Saya menguasai yoga samadi.
Saya melakukan praktek yoga samadi di Pura Mandara Giri Lumajang bersama beberapa orang teman saya.  Pada suatu hari saya disarankan untuk membaca Mantram Tryambakam. Saya pun terus aktif  membaca Mantram Tryambakam, pagi, sore dan malam. Pada hari ketiga yang melakukan yoga samadi, saya diuji Tuhan, ribuan nyamuk datang dan mengerubuti saya. Saya kemudian bacakan Mantram Tryambakam, nyamuk itu hilang. Pada hari kelima saya melakukan yoga semadi,  saya lagi diuji Tuhan,  aroma bau busuk menebar dari tubuh saya. Saya kemudian membacakan Tryambakam, bau busuk di tubuh saya  pun hilang.
Pada hari ketujuh saya melakukan yoga samadi,  tiba-tiba hati saya berdebar-debar. Saya terus membaca Tryambakam, tetapi guncangan hati saya tidak berhenti. Dalam situasi  berdebar-debar,  tiba-tiba saya mendengar suara takbir ‘’Allahuakbar … Allahuakbar’’. Padahal malam itu bukan malam idul fitri, lantas dari mana suara takbir itu datang. Saya coba lawan dengan Mantram Triyambakam, namun  suara takbir itu tidak hilang, malah suaranya semakin jelas dan kuat. Dari situ saya kemudian berpikir  bahwa ini adalah hidayah bagi saya.        Saya kemudian masuk Islam pada tahun 1995,  dan  naik haji pada tahun 1996. Sepulang saya dari haji,  kedua orang tua saya dan lima saudara saya  semua ikut dengan saya masuk agama islam.

Panca Yajna:  Upacara Selamatan?
Tidak ada maksud sedikitpun dari penulis  untuk  mencampuri urusan privacy seorang Ustazd Abdul Aziz, lebih-lebih mengenai pilihan jalan (agama) penuntun hidupnya.  Cuma saja, yang mengundang  perhatian saya, karena   di dalam ceramahnya yang  berdurasi sekitar  satu setengah jam (dua CD) tersebut, Pak Ustadz  telah menjadikan ajaran ‘’Agama’’ Hindu sebagai bahan  banyolan, di antaranya seperti kalimat-kalimat yang dicetak miring berikut ini:
 Pertama. Panca Yajna adalah  lima  upacara selamatan di dalam agama Hindu, masing-masing:
1.      Dewa yajna yakni selamatan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa.
2.      Rsi yajnya adalah selamatan kepada  orang-orang yang dianggap suci.
3.      Pitra yajna adalah selamatan kepada roh leluhur.
4.      Manusa yajna adalah selamatan kepada  manusia.
5.      Butha yajna adalah selamatan kepada  mahluk bawahan.
Melakukan selamatan ini adalah wajib hukumnya di dalam Agama  Hindu. Contoh  selamatan pada hari kematian, acaranya berlangsung pada hari pertama, ke-3, ke-7, ke-40,  ke-100 dan  nyewu (hari ke-1000).   ‘’Kalau tidak  punya uang untuk melaksanakan selamatan, wajib utang kepada tetangga. (jamaah tertawa).
            Sebab  bila keluarga yang meninggal tidak diselamatin, rohnya akan gentayangan,  menjelma menjadi hewan,  binatang, bersemayam di keris dan jimat, dll. Makanya pohon-pohon diberi sarung, dan pada setiap hari Sukra Umanis jimat dan keris diberi minum kopi. ‘’Sedangkan yang melaksanakan selamatan, dapat tiket langsung masuk surga.’’  Di dalam Islam tidak ada selamatan-selamatan, tetapi yang ada adalah sedekoh. Sedekoh punya kelebihan dari selamatan yakni memberikan sedekoh ketika kita punya kelebihan yang biasanya dilakukan pada menjelang bulan puasa. Jadi bukan hasil utang.
Tanggapan Penulis.   Sejak SD saya belajar agama Hindu, sampai sekarang Panca Yajna itu artinya lima korban suci. Bahkan di dalam Kitab Bhagawad Gita, yajna berarti bakti, pengabdian, persembahan dan kurban (sedekah) yang dilakukan dengan tulus iklas (hati suci). Bukan   berharap untung  yang lebih besar kepada Tuhan dari sedekoh yang kecil kepada manusia. Jadi Panca Yajnya itu adalah berbakti (sujud) kepada Tuhan (Dewa Yajna),  bakti kepada  orang suci  (Rsi Yajna),  berbakti kepada leluhur  (pitra yajna), melayani (berderma) kepada sesama (manusa yajna) dan bersedekah kepada bahluk bawahan (butha yajna). Tidak ada saya jumpai arti Panca Yajna adalah lima upacara  selamatan dan  wajib ngutang,  seperti  kitab yang dibaca Ustadz Abdul Aziz.
Istilah selamatan  tidak ada di dalam Hindu, apalagi selamatan atas kematian. Adapun rangkaian upacara kematian di dalam Hindu seperti  nelun, ngaben, ngeroras (memukur) dll. pada intinya  merupakan penyucian sang jiwa dari unsur badan fisik, mendoakan agar perjalanan sang jiwa tidak mendapatkan halangan,  memperoleh ketenangan dan kedamaian di alam pitra. (Kitab Asvalayana Griha Sutra).  Masalah dia (sang jiwa) mendapat tiket ke sorga atau akan masuk neraka, tergantung dari  bekal  karmanya. Yang jelas sangat tidak ditentukan oleh acara selamatan.
Apalagi kalau dikatakan bahwa  roh yang tidak diselamatin  akan gentayangan, menjelma jadi hewan atau pohon,  itu  ada di cerita film kartun. Proses reinkarnasi berlangsung puluhan bahkan mungkin sampai ratusan  tahun. Sementara pohon-pohon di berikan busana (sarung: menurut Ustazd Abdul Aziz),  adalah  sebagai  tanda bahwa pohon-pohon  tersebut dilestarikan dan tidak boleh ditebang sembarangan. Ini wujud bahwa Hindu cinta lingkungan.

Kedua.  Di dalam agama Hindu, dalam memberangkatkan mayat ada tradisi trobosan yakni berjalan menerobos di bawah keranda mayat, sebagai wujud bhakti kepada orang tua yang meninggal. Dan ketika mayat ditandu ke kuburan, di sepanjang jalan dipayungi. Apakah mayatnya kepanasan? Belum pernah mati kok tahu mayat kepanasan. Di Islam acara-acara semacam itu tidak ada dasar hukumnya baik di hayat maupun hadist.
Tanggapan Penulis. Dengan tanpa bermaksud merendahkan kemampuan sosok Ustadz Abdul Aziz di bidang agama, namun perlu saya sampaikan bahwa rangkaian acara satu hari, 3, 7, 40, 100 dan  nyewu,  menurut hemat saya adalah tradisi di dalam kehidupan beragama dengan berbagai tujuan dan motivasinya. Misalnya ‘’Tradisi Nyewu di Yogyakarta’’ yang pernah dimuat di Media Hindu.  Tolong dibedakan antara agama dan tradisi.

Ketiga.  Apakah Tuhan Hindu minta makan? Lihat ini, Dewa makan bubur hangat. Dewa  Brahma masih  doyan pisang rebus  (Ustadz menunjukkan  gambar Brahma disertai sesajen termasuk tumpeng). Tumpeng bagi Hindudianggap simbol Tri Murti. Barang siapa yang bisa membikin tumpeng, berarti dia sudah masuk Hindu.
Tanggapan Penulis. Orang bodoh pun tahu bahwa Tuhan tidak butuh apapun dari manusia, apalagi pisang rebus. Makanan duniawi cuma dibutuhkan oleh badan fisik, tidak untuk badan rohani. Persembahan berupa bebantenan yang dilakukan oleh orang Bali yang beragama Hindu  bukan untuk memberi dewa (Tuhan) makan. Akan tetapi, melakukan persembahan merupakan cara umat Hindu untuk mewujudkan rasa bhakti dan  ungkapan rasa terimakasih kepada Tuhan atas  segala anugerah-Nya. Persembahan tersebut kemudian dimohonkan untuk diberkati untuk selanjutnya dapat kita nikmati. ‘’Yang baik makan setelah upacara bakti, akan terlepas dari segala dosa, tetapi menyediakan makanan lezat hanya bagi sendiri, mereka ini sesungguhnya makan dosa. ‘’ (BG. III.13)
Bisa membuat tumpeng berarti masuk Hindu? Ini bombastis. Untuk menjadi Hindu ada proses ritualnya, di antaranya upacara sudi widana dan mengucapkan Panca Sradha.  Banyak orang muslim, kristen dan Budha yang pandai  membuat tumpeng, apakah itu berarti mereka masuk Hindu?

Para Wali Menjiplak Weda?
            Menanggapi  pertanyaan seorang jamaah mengenai film  seri kartun ‘’Little Krsna’’ di  TV, Ustadz Abdul Aziz  mengatakan, ‘’Hati-hati, awasi anak-anak kita, itu cara-cara orang di luar muslim untuk melakukan cuci otak terhadap anak-anak kita (muslim).’’   Sedangkan setahu saya,  cuci otak itu adalah cara teroris untuk merekrut anggota. Teroris itu siapa?  Tidak pernah ada di dalam Hindu gerakan cuci otak untuk merekrut orang (agama) lain. Yang ada malah sebaliknya, orang di luar Hindu yang sibuk melakukan gerakan konversi untuk  memperoleh tabungan pahala.
Benarkah para wali dulu mengubah (menjiplak) doa-doa Hindu ke dalam bahasa Alquran?’’  Atas pertanyaan seorang jamaah lainnya ini, Ustadz Abdul Aziz tidak  kuasa menjawab. ‘’Saya tidak berani  menjawab pertanyan ini, karena saya tidak punya referensi sebagai dasar,’’ tangkisnya. Apa  makna di balik kata tidak berani tersebut? Apa benar dia tidak punya referensi?
Seorang ustadz yang  mengaku telah belajar weda selama 25 tahun,  tetapi referensi yang disampaikan  kok malah muter-muter  soal tradisi melulu; acara selamatan, terobosan,  memayungi mayat, pohon pakai sarung, keris dan jimat minum kopi, membuat tumpeng.
Padahal harus disadari, yang namanya tradisi tentulah berbeda sesuai dengan desa,  kala, patra (tempat, waktu dan keadaan), baik di dalam satu agama apalagi beda agama. Semua agama punya tradisi, termasuk di kalangan umat Islam.  Tetapi sepanjang hal itu dilakukan sebagai ungkapan rasa bhakti,  rasa hormat dan doa,  kenapa tidak diapresiasi. Tidak ada dasar hukumnya (bida’ah)?  Sekarang zaman komputerisasi, di mana-mana orang pakai laptop,  HP, pesawat terbang, sepeda motor, apakah juga bida’ah menurut Islam?
Selama berceramah, tidak ada sepotong filsafatpun yang terlontar dari mulut sang ustadz.  Sementara  esensi dari ajaran Hindu  ada pada filsafat. Di situ logika dimainkan, bukan sekedar keyakinan semu dengan menelan  mentah ayat-ayat.
Mantram Tryambakam adalah syair yang sakral dan memiliki kekuatan (energi)  gaib. Kalau sekedar ngusir nyamuk dan menghilangkan bau busuk, ngapain harus melakukan yoga samadi sampai tujuh hari tujuh malam, cukup dengan autan saja. Sedangkan di dalam melakukan yoga samadi,  pada  tahap tertentu, berbagai bentuk godaan bisa saja  muncul.   Namun hal itu bukanlah petunjuk Tuhan (hidayah),  malah  bila kita tidak kuat bisa terjerumus.
                      
Penulis: Sisya Grya Taman Narmada,
                  Lombok Barat.
               HP. 08191718016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar