21 November 2012

BAB I NGALAP BAROKAH

NGALAP BAROKAH



 Dialog Publik di Masjidil Haram
Syaikh  Muhammad  bin  Shalih  al-'Utsaimin-ulama  Wahhabi  kontemporer  di Saudi  Arabia  yang  sangat  populer  dan  kharismatik-,  mempunyai  seorang  guru yang  sangat  alim  dan  kharismatik  di  kalangan  kaum  Wahhabi,  yaitu  Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa'di. Ia dikenal dengan julukan Syaikh Ibnu Sa'di. Ia memiliki  banyak  karangan,  di  antaranya  yang  paling  populer  adalah  karyanya yang berjudul, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir setebal  5  jilid,  yang  mengikuti  paradigma  pemikiran  Wahhabi.  Tafsir  ini  di kalangan  Wahhabi  menyamai  kedudukan  Tafsir  al-Jalalain  di  kalangan  kaum Sunni.


Syaikh  Ibnu  Sa'di  dikenal  sebagai  ulama  Wahhabi  yang  ekstrem.  Namun demikian,  terkadang  ia  mudah  insyaf  dan  mau  mengikuti  kebenaran,  dari manapun kebenaran itu datangnya.

Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid 'Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda al- Sayyid Muhammad bin 'Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di serambi Masjidil Haram  bersama  murid-muridnya  dalam  halaqah  pengajiannya.  Di  bagian  lain serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa'di juga duduk-duduk bersama anak  buahnya.  Sementara  orang-orang  di  Masjidil  Haram  sedang  larut  dalam ibadah. Ada yang shalat dan ada pula yang thawaf. Pada saat itu, langit di atas Masjidil   Haram   diselimuti  mendung   tebal  yang   menggelantung.   Sepertinya sebentar lagi hujan lebat akan segera mengguyur tanah suci umat Islam itu.

Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas Ka'bah mengalirkan air hujan itu dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang Hijaz  seperti  kebiasaan  mereka,  segera  berhamburan  menuju  saluran  itu  dan mengambil  air  tersebut.  Air  itu  mereka  tuangkan  ke  baju  dan  tubuh  mereka,
dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu.

Melihat kejadian tersebut, para polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang sebagian besar berasal dari orang Baduwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan mengira  bahwa  orang-orang  Hijaz  tersebut  telah  terjerumus  dalam  lumpur kesyirikan  dan  menyembah  selain  Allah  subhanahu  wa  ta'ala  dengan  ngalap barokah   dari   air   itu.   Akhirnya   para   polisi   pamong   praja   itu   menghampiri kerumunan   orang-orang   Hijaz   dan   berkata   kepada   mereka   yang   sedang air  hujan  yang  mengalir  dari  saluran  air  Ka'bah  itu,  "Hai orang-orang  musyrik,  jangan  lakukan  itu.  Itu  perbuatan  syirik.  Itu  perbuatan syirik.  Hentikan!"  Demikian  teguran  keras  para  polisi  pamong  praja  kerajaan
Wahhabi itu.

Mendengar  teguran  para  polisi  pamong  praja  itu,  orang-orang  Hijaz  itu  pun segera membubarkan diri dan pergi menuju Sayyid 'Alwi yang sedang mengajar murid-muridnya di halaqah tempat beliau mengajar secara rutin. Kepada beliau, mereka  menanyakan  perihal  hukum  mengambil  berkah  dari  air  hujan  yang mengalir dari saluran air di Ka'bah itu. Ternyata Sayyid 'Alwi membolehkan dan bahkan mendorong mereka untuk terus melakukannya.

Menerima  fatwa  Sayyid  'Alwi  yang  melegitimasi  perbuatan  mereka,  akhirnya untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu pun berhamburan lagi menuju saluran air di Ka'bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan yang jatuh darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi Baduwi tersebut. Bahkan ketika para polisi Baduwi itu menegur mereka untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz  itu  menjawab,  "Kami  tidak  peduli  teguran  Anda,  setelah  Sayyid  'Alwi berfatwa kepada kami tentang kebolehan mengambil berkah dari air ini."

Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan teguran, para polisi Baduwi  itu  pun  segera  mendatangi  halaqah  Syaikh  Ibnu  Sa'di,  guru  mereka. Mereka  mengadukan  perihal  fatwa  Sayyid  'Alwi  yang  menganggap  bahwa  air hujan  itu  ada  berkahnya.  Akhirnya,  setelah  mendengar  laporan  para  polisi Baduwi, yang merupakan anak buahnya itu, Syaikh Ibnu Sa'di segera mengambil selendangnya   dan   bangkit   berjalan   menghampiri   halaqah   Sayyid   'Alwi. Kemudian dengan perlahan Syaikh Ibn Sa'di itu duduk di sebelah Sayyid 'Alwi. Sementara  orang-orang dari  berbagai  golongan,  berkumpul  mengelilingi  kedua ulama  besar  itu.  Mereka  menunggu-nunggu,  apa  yang  akan  dibicarakan  oleh dua ulama besar itu.

Dengan penuh sopan santun dan etika layaknya seorang ulama besar, Syaikh Ibnu  Sa'di  bertanya  kepada   Sayyid  'Alwi:  "Wahai  Sayyid,  benarkah  Anda berkata kepada orang-orang itu bahwa air  hujan yang turun dari saluran air di Ka'bah itu ada berkahnya?"

Mendengar   pertanyaan   Syaikh   Ibn   Sa'di,   Sayyid   'Alwi   menjawab:   "Benar. Bahkan air tersebut memiliki dua berkah."

Mendengar   jawaban   tersebut,   Syaikh   Ibnu   Sa'di   terkejut   dan   berkata: "Bagaimana hal itu bisa terjadi?"

Sayyid  'Alwi  menjawab:  "Karena  Allah  subhanahu  wa  ta'ala  berfirman  dalam Kitab-Nya tentang air hujan: 
  
"Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah." (QS. 50 : 9).

Allah subhanahu wa ta'ala juga berfirman mengenai Ka'bah: 



 

"Sesungguhnya rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah rumah yang ada di Bekkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah)." (QS. 3 : 96).

Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka'bah itu memiliki dua berkah, yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada Baitullah ini."

Mendengar  jawaban  tersebut,  Syaikh  Ibnu  Sa'di  merasa  heran  dan  kagum kepada  Sayyid  'Alwi.  Kemudian  dengan  penuh  kesadaran,  mulut  Syaikh  Ibnu Sa'di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya akan kebenaran  ucapan  Sayyid  'Alwi:  "Subhanallah  (Maha  Suci  Allah),  bagaimana kami bisa lalai dari kedua ayat ini."

Kemudian Syaikh Ibnu Sa'di mengucapkan terima kasih kepada Sayyid 'Alwi dan meminta izin untuk meninggalkan halaqah tersebut. Namun Sayyid 'Alwi berkata kepada Syaikh Ibnu Sa'di: "Tenang dulu wahai Syaikh Ibnu Sa'di. Aku melihat para polisi baduwi itu mengira bahwa apa yang dilakukan oleh kaum  Muslimin dengan mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka'bah itu sebagai   perbuatan   syirik.   Mereka   tidak   akan   berhenti   mengkafirkan   dan mensyirikkan  orang  dalam  masalah  ini  sebelum  mereka  melihat  orang  seperti Anda  melarang  mereka.  Oleh  karena  itu,  sekarang  bangkitlah  Anda  menuju saluran air di Ka'bah itu. Lalu ambillah air di situ di depan para polisi Baduwi itu, sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang lain."

Akhirnya  mendengar  saran  Sayyid  'Alwi,  Syaikh  Ibnu  Sa'di  segera  bangkit menuju saluran air di Ka'bah. Ia basahi pakaiannya dengan air itu, dan ia pun mengambil  air  itu  untuk  diminumnya  dengan  tujuan  mengambil  berkahnya. Melihat tindakan Syaikh Ibnu Sa'di ini, para polisi Baduwi itu pun akhirnya pergi meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu.

Kisah  ini  disebutkan  oleh  Syaikh  Abdul  Fattah  Rawwah,  dalam  kitab  Tsabat (kumpulan  sanad-sanad  keilmuannya).  Beliau  murid  Sayyid  'Alwi  al-Maliki  dan termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu.

Syaikh Ibn Sa'di sebenarnya seorang yang sangat alim. Ia pakar dalam bidang tafsir. Apabila berbicara tafsir, ia mampu menguraikan makna dan maksud ayat al-Qur'an  dari  berbagai  aspeknya  di  luar  kepala  dengan  bahasa  yang  sangat bagus  dan  mudah  dimengerti.  Akan  tetapi  sayang,  ideologi  Wahhabi  yang diikutinya  berpengaruh  terhadap  paradigma  pemikiran  beliau.  Aroma  Wahhabi sangat kental dengan tafsir yang ditulisnya.



Ngalap Berkah

Berkah  (barokah)  diartikan  dengan  tambahnya  kebaikan  (ziyadah  al-khair). Sedangkan   tabarruk   bermakna   mencari   tambahnya   kebaikan   atau   ngalap barokah (thalab ziyadah al-khair). Demikian para ulama menjelaskan. Masyarakat kita seringkali mendatangi orang-orang saleh dan para ulama sepuh
dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan orang saleh memang ada barokahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:


"Dari  Ibn  Abbas  radhiyallahu  'anhu,  Rasulullah  shallallahu  alaihi  wa  sallam bersabda: "Berkah Allah bersama orang-orang besar di antara kamu." (HR. Ibn Hibban   (1912),   Abu   Nu'aim   dalam   al-Hilyah   (8/172),   al-Hakim   dalam   al- Mustadrak (1/62) dan al-Dhiya' dalam al-Mukhtarah (64/35/2). Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai kriteria al-Bukhari, dan al-Dzahabi menyetujuinya.)

Al-Imam  al-Munawi  menjelaskan  dalam  Faidh  al-Qadir,  bahwa  hadits  tersebut mendorong  kita  mencari  berkah  Allah  subhanahu  wa  ta'ala  dari  orang-orang besar dengan memuliakan dan mengagungkan mereka. Orang besar di sini bisa dalam artian besar ilmunya seperti para ulama, atau kesalehannya seperti orang- orang saleh.  Bisa  pula,  besar  dalam  segi  usia,  seperti  orang-orang yang  lebih tua.

Dalam  sebuah  diskusi  di  Masjid  At-Taqwa,  Denpasar  Bali,  ada  peserta  yang bertanya, "Bagaimana Islam menanggapi orang-orang yang melakukan ziarah ke makam para wali dengan tujuan mencari berkah?"

Di antara amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah subhanahu wa ta'ala  adalah  ziarah  makam  para  nabi  atau  para  wali.  Baik  ziarah  tersebut dilakukan  dengan  tujuan  mengucapkan  salam  kepada  mereka  atau  karena tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan berziarah ke makam mereka. Maksud

tabarruk di sini adalah mencari barokah dari Allah subhanahu wa ta'ala dengan
cara berziarah ke makam para wali.

Orang yang berziarah ke makam para wali dengan tujuan tabarruk, maka ziarah tersebut  dapat  mendekatkannya  kepada  Allah  subhanahu  wa  ta'ala  dan  tidak menjauhkannya dari Allah subhanahu wa ta'ala. Orang yang berpendapat bahwa ziarah wali dengan tujuan tabarruk itu syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik dari  al-Qur'an  maupun  dari  hadits  Nabi  shallallahu  alaihi  wa  sallam.  Al-Hafizh
Waliyyuddin al-'Iraqi berkata ketika menguraikan maksud hadits:


"Sesungguhnya Nabi Musa u berkata, "Ya Allah, dekatkanlah aku kepada tanah suci  sejauh  satu  lemparan  dengan  batu."  Nabi  shallallahu  alaihi  wa  sallam bersabda:  "Demi  Allah,  seandainya  aku  ada  disampingnya,  tentu  aku  beritahu kalian letak makam Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah."

Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-'Iraqi berkata:


"Hadits  tersebut  menjelaskan  anjuran  mengetahui  makam  orang-orang  saleh untuk  dizarahi  dan  dipenuhi  haknya.  Nabi  shallallahu  alaihi  wa  sallam  telah menyebutkan   tanda-tanda   makam   Nabi   Musa   u   yaitu   pada   makam   yang sekarang   dikenal   masyarakat   sebagai   makam   beliau.   Yang   jelas,   tempat tersebut adalah makam yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam." (Tharh al-Tatsrib, [3/303]).

Pada   dasarnya   ziarah   kubur   itu   sunnat   dan   ada   pahalanya.   Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

"Rasulullah  shallallahu  alaihi  wa  sallam  bersabda:  "Dulu  aku  melarang  kamu ziarah   kubur.   Sekarang   ziarahlah."   (HR.   Muslim).   Dalam   satu   riwayat, "Barangsiapa  yang  henda  ziarah  kubur  maka  ziarahlah,  karena  hal  tersebut  dapat mengingatkan kita pada akhirat." (Riyadh al-Shalihin [bab 66]).

Di  sini  mungkin  ada  yang  bertanya,  adakah  dalil  yang  menunjukkan  bolehnya ziarah  kubur  dengan  tujuan  tabarruk  dan  tawassul?  Sebagaimana  dimaklumi, tabarruk itu punya makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa ta'ala  dengan  berziarah  ke  makam  nabi  atau  wali.  Kemudian  para  nabi  itu meskipun  telah  pindah  ke  alam  baka,  namun  pada  hakekatnya  mereka  masih hidup.  Dengan  demikian,  tidak  mustahil  apabila  mereka merasakan  datangnya orang  yang  ziarah,  maka  mereka  akan  mendoakan  peziarah  itu  kepada  Allah subhanahu wa ta'ala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:



"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Para nabi itu hidup di alam kubur  mereka  seraya  menunaikan  shalat."  (HR.  al-Baihaqi  dalam  Hayat  al- Anbiya', [1]).

Sebagai penegasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini:

"Dari  Abdullah  bin  Mas'ud  radhiyallahu  'anhu,  Rasulullah  shallallahu  alaihi  wa sallam  bersabda:  "Hidupku  lebih  baik  bagi kalian.  Kalian  berbuat  sesuatu,  aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal  baik  kalian,  aku  akan  memuji  kepada  Allah.  Dan  apabila  aku  melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah." (HR. al-Bazzar, [1925]).

Karena keyakinan bahwa para nabi itu masih hidup di alam kubur mereka, kaum salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam  setelah beliau wafat. Hakekat bahwa para nabi dan orang saleh itu masih  hidup  di  alam  kubur,  sehingga  para  peziarah  dapat  bertabarruk  dan bertawassul dengan mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut ini:

"Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa yang   diriwayatkan   bahwa   sebagian   kaum   mendengar  jawaban   salam  dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau makam orang-orang saleh, juga Sa'id bin al-Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam  pada  malam-malam  peristiwa  al-Harrah  dan  sesamanya.  Ini  semuanya
benar,  dan  bukan  yang  kami  persoalkan.  Persoalannya  lebih  besar  dan  lebih serius  dari  hal  tersebut.  Demikian  pula  bukan  termasuk  kemungkaran,  adalah apa   yang   diriwayatkan   bahwa   seorang   laki-laki   datang   ke   makam   Nabi shallallahu  alaihi  wa  sallam  lalu  mengadukan  musim  kemarau  kepada  beliau pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi  Nabi shallallahu
alaihi  wa  sallam  dan  menyuruhnya  untuk  mendatangi  Umar  bin  al-Khaththab agar   keluar   melakukan   istisqa'   dengan   masyarakat.   Ini   bukan   termasuk kemungkaran. Hal semacam ini banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya  di  bawah  Nabi  shallallahu  alaihi  wa  sallam,  dan  aku  sendiri banyak mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini." (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha'
al-Shirath al-Mustaqim, juz. 1, hal. 373).

Kisah laki-laki yang datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas, telah  dijelaskan  secara  lengkap  oleh  al-Hafizh  Ibn  Katsir  al-Dimasyqi,  murid terkemuka  Syaikh  Ibn  Taimiyah,  dalam  itabnya  al-Bidayah  wa  al-Nihayah. Beliau berkata:


"Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar al-Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar mengabarkan kepada kami,  Ibrahim  bin  Ali  al-Dzuhli  mengabarkan  kepada  kami,  Yahya  bin  Yahya mengabarkan kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari al- A'masy, dari Abu Shalih, dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab,  bahwa  musim  paceklik   melanda  kaum  Muslimin   pada  masa Khalifah  Umar.  Maka  seorang  sahabat  (yaitu  Bilal  bin  al-Harits  al-Muzani) mendatangi  makam  Rasulullah  shallallahu  alaihi  wa  sallam  dan  mengatakan: "Hai   Rasulullah,   mohonkanlah   hujan   kepada   Allah   untuk   umatmu   karena sungguh  mereka  benar-benar  telah  binasa".  Kemudian  orang  ini  bermimpi bertemu  dengan  Rasulullah  shallallahu  alaihi  wa  sallam  dan  beliau  berkata kepadanya:  "Sampaikan  salamku  kepada  Umar  dan  beritahukan  bahwa  hujan akan  turun  untuk  mereka,  dan  katakan  kepadanya  "bersungguh-sungguhlah  melayani umat kemudian sahabat tersebut datang  kepada Umar dan
memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis  dan  mengatakan:  "Ya  Allah,  saya  akan  kerahkan  semua  upayaku kecuali yang aku tidak mampu". Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafizh Ibn Katsir, al- Bidayah wa al-Nihayah, juz 7, hal. 92. Dalam Jami' al-Masanid juz i, hal. 233, Ibn Katsir berkata, sanadnya jayyid (baik). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi
Khaitsamah, lihat al-Ishabah juz 3, hal. 484, al-Khalili dalam al-Irsyad, juz 1, hal. 313,  Ibn  Abdil  Barr  dalam  al-Isti'ab,  juz  2,  hal.  464  serta  dishahihkan  oleh  al- Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, juz 2, hal. 495).

Apabila  hadits  di  atas  kita  cermati  dengan  seksama,  maka  akan  kita  pahami bahwa sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu 'anhu tersebut datang ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan tujuan tabarruk, bukan tujuan  mengucapkan  salam.  Kemudian  ketika  laki-laki  itu  melaporkan  kepada Sayidina  Umar  radhiyallahu  'anhu,  ternyata  Umar  radhiyallahu  'anhu  tidak
menyalahkannya.  Sayidina  Umar  radhiyallahu  'anhu  juga  tidak berkata  kepada laki-laki  itu,  "Perbuatanmu  ini  syirik",  atau  berkata,  "Mengapa  kamu  pergi  ke makam  Rasul  shallallahu  alaihi  wa  sallam  untuk  tujuan  tabarruk,  sedangkan  beliau  telah  wafat  dan  tidak  bisa  bermanfaat  bagimu".  Hal  ini  menjadi  bukti  bahwa  bertabarruk  dengan  para  nabi  dan  wali  dengan  berziarah  ke  makam mereka, itu telah dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat, tabi'in dan penerusnya.

 bersambung ke ALLAH MAHA SUCI





Tidak ada komentar:

Posting Komentar