Tiap suku dan bangsa biasanya lain adat istiadat ( taradisi ) Adat
atau tradisi semacam ini adalah sah-sah saja dan tak masalah. Tentunya
dengan catatan, adat atau tradisi tersebut tidak bertentangan dengan
nilai-nilai luhur Islam, mempunyai tujuan mulia dan disertai niat
ibadah karena Allah SWT. Dalam Kaidah fikih dikatakan: “ Tradisi itu
diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariah”.
Sahabat Abdullah bin Mas’ud mengatakan: Setiap sesuatu yang umat
Islam menganggap baik, maka menurut Allah baik juga, dan yang mereka
anggap buruk, maka buruk juga manurut Allah”
Beliaujuga berpesan:
Sesungguhnya Allah melihat hati hambanya, selalu ditemukan hati
Muhammad SAW, sebaik-baiknya hati hambanya, lalu memilihnya untuk-Nya,
dan mengutusnya. Lalu melihat hati hambanya selain Muhammad, dan
ditemukan beberapa hati sahabatnya, lalu menjadikannya menteri bagi
pihak-Nya. Setiap suatu yang umat Islam menganggap baik, maka menurut
Allah baik juga, dan yang mereka anggap buruk, maka buruk juga menurut
Allah” (Diriwayatkan oleh Ahmad)
Dalam Hasiyah as-Sanady disebutkan, “Bahwa sesungguhnya sesuatu
yang mubah (tidak ada perintah dan tidak ada larangan) bisa menjadi
amal ibadah selama disertai niat baik. Pelakunya mendapatkan imbalan
pahala atas amal tersebut sebagaimana pahalanya orang-orang yang
beribadah”. (Hasiyah as-Sanady, Jilid 4, hal.368)
Imam Syafi’i memberikan batasan ideal tentang adat atau tradisi
ini, menurutnya, selama adat atau tradisi itu tidak bertentangan dengan
dasar-dasar syariat, itu hal terpuji. Artinya, agama
memperbolehkannya. Sebaliknya, jika adat atau tradisi tersebut
bertentangan dengan dasar-dasar syariat, hal itu dilarang dalam Islam.
Menurut Imam Syafi’i yang dinukil oleh Baihaqi dalam kitabnya
Manakip As Syafi’i lil Baihaqi: Hal baru (bid’ah) terbagi menjadi 2
(dua) macam. Adakalanya hal baru itu bertentangan dengan Al-Qur'an,
as-Sunnah, al-Atsar, atau ijma Ulama. Itulah bid’ah yang tercela.
Sedangkan hal baru yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama
tersebut adalah bid’ah yang terpuji. (Fathul Bari, karya Ibn Hajar,
jilid 20, hal:330)
Kesimpulanya, tradisi indonesia yg boleh dilestarikan adalah tradisi2
yg tidak bertentangan dengan syara'. Sebagaimana Rasulullah telah
menjaga tradisi Arab yg tidak melanggar syariat. Pernah suatu ketika
Rasul duduk bersama Abu Bakar, tiba2 datanglah seorang tamu, kemudian
oleh Rasulullah diperintahkan duduk bersama dengan beliau. Akan tetapi
tamu itu menolak. Karena menurut budaya Arab tidaklah di anggap sopan
atau layak, seorang yg rendah duduk berdampinggan dengan orang yang
mulia. Sehingga menjadi kaidah: Mura'atul adab muqaddamun alatho'ah,
menjaga budaya dan tradisi yg tidak bertentangan dengan syari'at lebih
diprioritaskan daripada taat yg tidak wajib.
Rasulullah di utus Allah untuk menyempurnakan akhlak (budaya). Sebagaimana dlm hadits:
Innama bu'itstu li'utammima makarimal akhlaq, yg berarti, sbelum adanya
utusan sudah ada budaya. Sedangkan Rasul hanya menyempurnan budaya yg
kurang pas. Sebagaimana budaya Arab setiap tahun, mereka berkumpul
ditanah Mina dengan tujuan berlomba2 atas unggulnya nasab. Setelah
Islam datang, budaya tersebut tidak dirubah, hanya caranya yg diganti
dengan berkumpul dan berlomba dzikir kepada Allah. Hal ini kemudian
menjadi sebab diturunkanya ayat:
Fa'idza qodloitum manasikakum fadzkurulloha kadzikrillahi aba'akum au asyadda dzikro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar