Pembahasan masalah dzikir dan tata caranya di kalangan warga NU akan kami muat
dalam tiga bagian. Petama, dzikir dan
syair sebelum shalat berjamaah; kedua, dzikir
dengan suara keras setelah shalat; dan ketiga,
dzikir berjamaah (semisal istighasah. dsb) yang diselenggarakan secara
khusus.
Dzikir sebelum Shalat
Berjama’ah
Setelah adzan, kita tentunya kerap mendengar lantunan puji-pujian dari pengeras suara di masjid-masjid. Puji-pujian itu bisa syair yang berisi nasehat dan peringatan, shalawat (baik shalawat Nabi, Nariyah, dan lan sebaginya) maupun bacaan-bacaan dzikir yang lain. Dzikir dan syair biasanya dilakukan dengan menggunakan pengeras suara, diikuti oleh hampir seluruh orang yang hadir untuk menunggu datangnya imam shalat. Ketika imam telah datang dan iqamat dilantangkan, maka berhenti pula syair dan dzikir tersebut.
Perlu diketahui, bahwa syair atau bacaan-bacaan dzikir yang
dilagukan dari masjid-masjid sebelum shalat berjamaah, tidak dilaksanakan di
semua masjid. Hanya masjid-masjid tertentu saja, yang mana (biasanya)
masyarakat disekitarnya adalah kaum Nahdhiyin.
Bagaimanakah hukum melantunkan syair dan dzikir sebelum
shalat berjamaah?
KH Muhyiddin Abdusshomad, telah menerangkan persoalan ini
dalam situs resmi Nahdhatul Ulama. Menurutnya, membaca dzikir dan syair
sebelum pelaksanaan shalat berjama'ah, adalah perbuatan yang baik dan
dianjurkan. Anjuran ini bisa ditinjau dari beberapa sisi.
Pertama, dari sisi
dalil. Terdapat hadis yang menyatakan bahwa dahulu pada masa Rasulullah Saw.
para sahabat juga membaca syair di masjid. Dalam sebuah hadits:
Dari Sa'id bin Musayyab, ia berkata:
“Suatu ketika Umar
berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan
syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah
melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia
darimu.’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan
perkataannya. ‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW,
jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh
al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah
medengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud)
Berkaitan dengan hadis di atas, Syaikh Isma’il az-Zain dalam
Irsyadul Mu'minin ila Fadha'ili Dzikri Rabbil 'Alamin menjelaskan bahwa,
melantunkan syair yang berisi puji-pujian, nasihat, pelajaran tata krama dan
ilmu yang bermanfaat di dalam masjid adalah sesuatu yang bukan dilarang oleh
agama, dengan kata lain hukumnya adalah mubah.
Kedua, dilihat
dari sisi syiar dan penanaman akidah umat, menurut KH Muhyiddin Abdusshomad,
selain menambah syiar agama, amaliah tersebut juga merupakan strategi yang
sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Karena di
dalamnya terkandung beberapa pujian kepada Allah SWT, dzikir dan nasihat.
Misal, lantuan dzikir istighfar berikut:
Astaghfirullah, Rabbal
baraya, astaghfirullah minal khathoya.
Contoh lain, adalah syair karangan Sunan Bonang berikut:
Tombo ati, iku ana
limang perkoro, ingkan ndingin, maca qur’an lan maknane, kaping pindo, shalat
wengi lakonono, kaping telu dzikir wengi ingkang suwe, kaping papat, wetengi
ngiro luwih ono, kaping limo, wong kang shaleh kumpulono. (obat hati itu ada
lima macam, pertama membaca al-Qur’an berserta maknanya, kedua shalat malam
lakukanlah, ketiga, dzikir malam jalankanlah, keempat, perutmu laparkanlah
(puasa), kelima, berkumpullah dengan orang shaleh.
Dan masih banyak lagi syair-syair lain yang dianggap sangat
bermanfaat karena memberikan nasehat dan menedekatkan orang yang membacanya
kepada Allah Swt.
Ketiga, dari aspek
psikologis, masih menurut KH Muhyiddin Abdusshomad, lantunan syair yang indah
itu dapat menambah semangat dan mengkondisikan suasana. Dalam hal ini, tradisi
yang telah berjalan di masyarakat tersebut dapat menjadi semacam warming up
(persiapan) sebelum masuk ke tujuan inti, yakni shalat lima waktu.
Selain ketiga manfaat tersebut, syair dan dzikir yang
dilantunkan sebelum shalat berjamaah bisa mengobati rasa jemu sembari menunggu
waktu shalat jama'ah dilaksanakan. Juga agar para jama'ah tidak membicarakan
hal-hal yang tidak perlu ketika menunggu shalat jama'ah dilaksanakan.
Berdasarkan dalil dan hujjah di atas, maka NU tetap
melanggengkan tradisi melantunkan dzikir dan syair sebelum shalat berjamaah di
masjid dan mushala. Namun begitu, perlu digaris bawahi, bahwa amalaiah ini
tergantung pula pada situai dan kondisi, tidak dibenarkan apabila sampai
mengganggu orang yang shalat dan membuat bising masyarakat di sekitar masjid
atau mushala.
Dzikir Sesudah Shalat
Kita tahu, bahwa salah satu tujuan dzikir adalah untuk
meraih ketenangan, agar kita bisa lebih dekat dengan Allah Swt. Untuk mencapai
tujuan itu, tentu dibutuhkan dzikir yang tidak hanya sekedar ucapan lisan,
melainkan membutuhkan kesungguhan hati, dalam kata lain, dzikir mestilah
dilakukan dengan khusuk.
KH. Cholil Nafis, seorang ulama NU menulis, dzikir harus
dilaksanakan dengan sepenuh hati, jiwa yang tulus, dan hati yang khusyu' penuh
khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati yang khusyu' itu diperlukan
perjuangan yang tidak ringan. Cara untuk khusuk, menurutnya, berbeda-beda
setiap orang. Bisa jadi satu orang lebih khusyu' kalau berdzikir dengan cara
duduk menghadap kiblat, sementara yang lain akan lebih khusyu' dan khidmat jika
berdzikir dengan cara berdiri atau berjalan, ada pula dengan cara mengeraskan
dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir tidak bersuara untuk
mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu'-an.
Satu sisi, memang terdapat dalil-dalil yang menyuruh ummat
muslim untuk berdzikir dengan suara yang lemah lembut, dan pada sisi yang lain
terdapat pula dalil yang membolehkan untuk berdzikir dengan suara keras. NU
menganggap dalil-dalil tersebut, baik antara al-Qur’an dengan hadist, maupun
hadist dengan hadist, tidaklah saling bertentangan, karena masing-masing
memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Yakni disesuaikan dengan situasi dan
kondisi.
Beberapa dalil yang menunjukkan kebolehan dzikir dengan
suara keras setelah shalat antara lain hadist riwayat Ibnu Abbas:
“Aku mengetahui dan
mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila mereka selesai
melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan masjid.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Ibnu Adra’ juga pernah berkata: "Pernah saya berjalan
bersama Rasulullah SAW lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid yang
sedang mengeraskan suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai Rasulullah
mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah SAW menjawab:
"Tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan."
Sementara dalil yang menjelaskan keutamaan berdzikir dengan
secara pelan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Sa'd bin Malik bahwasannya
Rasulullah saw bersabda:
"Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan
sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi."
Lalu, bagaimana pendapat Ulama NU dalam mengkompromikan dua
hadits yang seakan-akan kontradiktif itu? Cholil Nafis, mengutip penjelasan
Imam Nawawi sebagai berikut:
“Imam Nawawi menkompromikan (al-jam’u wat taufiq)
antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang
mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu
lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang yang shalat
atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak
mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang
yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus
merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah,
menghilangkan kantuk serta menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz
III).
Pendapat Imam Nawawi, sebagai juru bicara dari Madzhab
Syafi'i, sejalan dengan keterangan yang ditulis Imam Syafi'i dalam kitab Al-Umm,
bahwasanya tujuan Nabi Saw. mengeraskan suaranya ketika berdzikir adalah untuk
mengajari orang-orang yang belum bisa melakukannya. Dan jika amalan tersebut
untuk hanya pengajaran maka biasanya tidak dilakukan secara terus menerus.
Masalah dzikir dengan suara keras juga disinggung dalam
Fathul Mu’in karangan Imam Zainuddin al-Malibari, kitab yang sering dijadikan
rujukan kaum Nahdhiyin. Dalam kitab tersebut didapat keterangan bahwa berdzikir
dengan suara pelan setelah shalat adalah sunnah, baik bagi orang yang shalat
sendirian, maupun berjamaah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak
bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka.
Dari keterangan Zainuddin al-Malibari tersebut maka didapati
hukum berdzikir dengan suara keras setelah shalat adalah boleh. Jelaslah
sekarang, bahwa NU tidak mewajibkan atau mengharuskan warganya untuk berdzikir
dengan suara keras, melainkan tergantung kepada situasi dan kondisi; jika dalam
kondisi ingin mengajarkan, membimbing dan menambah ke-khusyu’-an maka
mengeraskan suara dzikir itu hukumnya sunnah dan tidak bertentangan dengan
ajaran agama Islam. Bahkan dalam beberapa keadaan sangat dianjurkan untuk
mengeraskan dzikir, demikian menurut Chalil Nafis.
c. Dzikir
Berjamaah
Salah satu amaliyah warga NU yang terkenal dan mengundang
kontroversi dari Ormas lain adalah Istighasah. Arti istighasah adalah memohon
pertolongan kepada Allah Swt. Pelaksanaan istighasah diisi dengan doa-doa dan
dzikir-dzikir tertentu yang dibaca secara berjamaah dan dipimpin oleh seorang
Imam istighasah.
Disebutkan dalam buku Antologi NU, bahwa dalam skala besar, PBNU
telah beberapa kali menggelas itighasah Nasional, yang dihadiri lebih dari satu
juga kaum Nahdziyin. Pernah diadakan di lapangan Parkir Monas Jakarta, Gelora
10 November dan Lapangan Makodam V brawijaya Surabaya. Di semua tingkat
kepengurusan NU, selalu akrab dengan budaya istighasah tersebut, kadang
menggunakan istilah istighasah hubro, istighasah nasional, dan lain sebagainya.
Dzikir yang dibaca dalam istighasah dikalangan NU memakai
dzikir yang dibakukan oleh Jami’iyah Ahli Thariqah al-Muktabarah an-Nahdhiyah,
ijazah dari Sayikhana Chili Bangkalan.
Dalil dianjurkanya istighasah, atau dzikir berjamaah antara
lain al-Qur’an surat al-Imran ayat 191:
(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri
atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Rabb kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka. (Q.S. al-Imran: 191)
Ada sementara kalangan yang tidak menyepakati digunakannya
dalil tersebut sebagai pembolehan dzikir berjamaah. Mereka mengutip pendapat
dari Syaikh Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Khumayyis dalam “Adz-Dzikr al-Jama’i baina al-Ittiba’ wal
Ibtida’. Menurutnya, sighat (konteks) jama’ dalam ayat di atas (yakni kata
“yadzkuruna”) adalah sebagai anjuran yang bersifat umum dan menyeluruh kepada
semua umat Islam untuk berdzikir kepada Allah Swt. tanpa kecuali, bukan anjuran
untuk melakukan dzikir berjama'ah. Selain itu jika sighat jama’ dalam ayat
tersebut dipahami sebagai anjuran untuk melakukan dzikir secara berjama'ah atau
bersama-sama maka kita akan kebingungan dalam memahami kelanjutan ayat
tersebut. Disebutkan bahwa dzikir itu dilakukan dengan cara berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala
junubihim), lalu bagaimanakah praktek dzikir bersama-sama dengan cara
berdiri, duduk dan berbaring itu? Apakah ada dzikir berjama'ah dengan cara
seperti ini?
Selain pernyataan ketidaksepakatan tersebut, yang
dipermasalahkan juga oleh mereka yang tidak sependapat adalah bahwa ayat
tersebut turun kepada Rasulullah Saw. dan para shahabat berada di samping
beliau. Apakah Rasulullah Saw. dan para shahabat memahami ayat tersebut sebagai
perintah untuk dzikir bersama-sama satu suara?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dalam buku
Risalah Amaliah NU, PCNU Kota Malang. Di sana dibeberkan dalil-dalil lain yang
membolehkan dzikir berjamaah, termasuk juga istighasah.
Bahwa Rasulullah dan para para sahabat pernah melantunkan
syair (Qasidah/Nasyidah) di saat menggali khandaq (parit). Rasul Saw. dan
sahabat r.a bersenandung bersama sama dengan ucapan: "Haamiiim laa yunsharuun..".
Cerita ini termuat dalam buku
sejarah tertua, yakni Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab Ghazwat Khandaq. Kitab ini
dikarang oleh seorang Tabi’in sehingga datannya dianggap lebih valid.
Pada bab Bab Hijraturrasul saw- bina' masjidissyarif, sebagaimana tertulis dalam Risalah Amaliyah
NU, para sahabat juga bersenandung saat membangun membangun Masjidirrasul saw
dengan melantunkan syair:
"Laa 'Iesy illa
'Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah." Senandung
para sahabat kemudian diikuti oleh Rasulullah dengan semangat.
Mengenai makna berdiri (qiyaman),
duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim), mengandung tafsir,
bahwa ayat tersebut diatas lebih dititikberatkan kepada bagaimana tata cara
orang shalat, yaitu bisa dilakukan dengan berdiri, duduk, maupun tiduran. Namun
secara umum dapat juga diartikan dzikir secara lafdziy. Seseorang dapat
berdzikir kepada Allah dengan segala tingkah sesuai kemampuannya. Dalam majlis
dzikir, sebagian orang mungkin duduk, sebagian lagi berdiri dan mungkin ada
yang tiduran tergantung kondisi masing-masing individu.
Selain dalil di atas, juga ada hadis Qudsy yang menyatakan
anjuran untuk berdoa, berdzikir, dengan sirran wa jahran (pelan dan terang), di
dalam hati, dalam sendiri maupun berjamaah.
"Bila ia (hambaku) menyebut namaKu dalam dirinya,
maka Aku mengingatnya dalam Diriku, bila mereka menyebut namaKu dalam kelompok
besar, maka Aku pun menyebut (membanggakan) nama mereka dalam kelompok yg lebih
besar dan lebih mulia". (HR Muslim).
Selain itu, Sabda Rasulullah Saw juga telah bersabda:
“Sungguh Allah
memiliki malaikat yang beredar di muka bumi mengikuti dan menghadiri majelis
majelis dzikir, bila mereka menemukannya maka mereka berkumpul dan berdesakan
hingga memenuhi antara hadirin hingga langit dunia, bila majelis selesai maka
para malaikat itu berpencar dan kembali ke langit, dan Allah bertanya pada
mereka dan Allah Maha Tahu : “Darimana kalian?” Mereka menjawab: ‘Kami datang
dari hamba hamba Mu, mereka berdoa padamu, bertasbih padaMu, bertahlil padaMu,
bertahmid pada Mu, bertakbir pada Mu, dan meminta kepada Mu, Maka Allah
bertanya: “Apa yg mereka minta?”, Malaikat berkata: ‘Mereka meminta sorga,
Allah berkata: ‘Apakah mereka telah melihat sorgaku?, Malaikat menjawab:
‘Tidak.’ Allah berkata : “Bagaimana bila mereka melihatnya”. Malaikat berkata:
‘Mereka meminta perlindungan-Mu, Allah berkata: “mereka meminta perlindungan
dari apa?”, Malaikat berkata: “Dari Api neraka”, Allah berkata: “apakah mereka
telah melihat nerakaku?”, Malaikat menjawab, ‘tidak.’ Allah berkata: ‘Bagaimana
kalau mereka melihat neraka Ku. Malaikat berkata: ‘Mereka beristighfar pada
Mu.’ Allah berkata: “Sudah kuampuni mereka, sudah kuberi permintaan mereka, dan
sudah kulindungi mereka dari apa apa yg mereka minta perlindungan darinya.’
Malaikat berkata: “Wahai Allah, diantara mereka ada si fulan hamba pendosa, ia
hanya lewat lalu ikut duduk bersama mereka, Allah berkata: ‘Baginya
pengampunanku, dan mereka (ahlu dzikir) adalah kaum yg tidak ada yg dihinakan
siapa siapa yg duduk bersama mereka.”
Dzikir bersama, atau istighasah selain merupakan doa bersama
dalam rangka memohon pertolongan menghadapi permasalahan yang besar dan jalan
yang ditempuh semakin sulit, juga merupakan tandingan untuk panggung panggung maksiat yang
dari hari ke hari kian marak saja, menyeret pemuda dan pemudi untuk larut,
sehingga sangat mungkin akan melupakan Allah. NU menganggap istighasah atau
dzikir berjamaah merupakan suatu perbuatan yang mulia karena berusaha
menggemakan nama Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar