17 September 2012

Dzikir versi Nahdhatul Ulama



            Pembahasan masalah dzikir dan tata caranya di kalangan warga NU akan kami muat dalam tiga bagian. Petama, dzikir dan syair sebelum shalat berjamaah; kedua, dzikir dengan suara keras setelah shalat; dan ketiga, dzikir berjamaah (semisal istighasah. dsb) yang diselenggarakan secara khusus.
Dzikir sebelum Shalat Berjama’ah

Setelah adzan, kita tentunya kerap mendengar lantunan puji-pujian dari pengeras suara di masjid-masjid. Puji-pujian itu bisa syair yang berisi nasehat dan peringatan, shalawat (baik shalawat Nabi, Nariyah, dan lan sebaginya) maupun bacaan-bacaan dzikir yang lain. Dzikir dan syair biasanya dilakukan dengan menggunakan pengeras suara, diikuti oleh hampir seluruh orang yang hadir untuk menunggu datangnya imam shalat. Ketika imam telah datang dan iqamat dilantangkan, maka berhenti pula syair dan dzikir tersebut.
Perlu diketahui, bahwa syair atau bacaan-bacaan dzikir yang dilagukan dari masjid-masjid sebelum shalat berjamaah, tidak dilaksanakan di semua masjid. Hanya masjid-masjid tertentu saja, yang mana (biasanya) masyarakat disekitarnya adalah kaum Nahdhiyin.
Bagaimanakah hukum melantunkan syair dan dzikir sebelum shalat berjamaah?
KH Muhyiddin Abdusshomad, telah menerangkan persoalan ini dalam situs resmi Nahdhatul Ulama. Menurutnya, membaca dzikir dan syair sebelum pelaksanaan shalat berjama'ah, adalah perbuatan yang baik dan dianjurkan. Anjuran ini bisa ditinjau dari beberapa sisi.
Pertama, dari sisi dalil. Terdapat hadis yang menyatakan bahwa dahulu pada masa Rasulullah Saw. para sahabat juga membaca syair di masjid. Dalam sebuah hadits:
Dari Sa'id bin Musayyab, ia berkata:
 “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu.’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah medengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud)
Berkaitan dengan hadis di atas, Syaikh Isma’il az-Zain dalam Irsyadul Mu'minin ila Fadha'ili Dzikri Rabbil 'Alamin menjelaskan bahwa, melantunkan syair yang berisi puji-pujian, nasihat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid adalah sesuatu yang bukan dilarang oleh agama, dengan kata lain hukumnya adalah mubah.
Kedua, dilihat dari sisi syiar dan penanaman akidah umat, menurut KH Muhyiddin Abdusshomad, selain menambah syiar agama, amaliah tersebut juga merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Karena di dalamnya terkandung beberapa pujian kepada Allah SWT, dzikir dan nasihat.
Misal, lantuan dzikir istighfar berikut:
Astaghfirullah, Rabbal baraya, astaghfirullah minal khathoya.
Contoh lain, adalah syair karangan Sunan Bonang berikut:
Tombo ati, iku ana limang perkoro, ingkan ndingin, maca qur’an lan maknane, kaping pindo, shalat wengi lakonono, kaping telu dzikir wengi ingkang suwe, kaping papat, wetengi ngiro luwih ono, kaping limo, wong kang shaleh kumpulono. (obat hati itu ada lima macam, pertama membaca al-Qur’an berserta maknanya, kedua shalat malam lakukanlah, ketiga, dzikir malam jalankanlah, keempat, perutmu laparkanlah (puasa), kelima, berkumpullah dengan orang shaleh.
Dan masih banyak lagi syair-syair lain yang dianggap sangat bermanfaat karena memberikan nasehat dan menedekatkan orang yang membacanya kepada Allah Swt.
Ketiga, dari aspek psikologis, masih menurut KH Muhyiddin Abdusshomad, lantunan syair yang indah itu dapat menambah semangat dan mengkondisikan suasana. Dalam hal ini, tradisi yang telah berjalan di masyarakat tersebut dapat menjadi semacam warming up (persiapan) sebelum masuk ke tujuan inti, yakni shalat lima waktu.
Selain ketiga manfaat tersebut, syair dan dzikir yang dilantunkan sebelum shalat berjamaah bisa mengobati rasa jemu sembari menunggu waktu shalat jama'ah dilaksanakan. Juga agar para jama'ah tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika menunggu shalat jama'ah dilaksanakan.
Berdasarkan dalil dan hujjah di atas, maka NU tetap melanggengkan tradisi melantunkan dzikir dan syair sebelum shalat berjamaah di masjid dan mushala. Namun begitu, perlu digaris bawahi, bahwa amalaiah ini tergantung pula pada situai dan kondisi, tidak dibenarkan apabila sampai mengganggu orang yang shalat dan membuat bising masyarakat di sekitar masjid atau mushala.
Dzikir Sesudah Shalat
Kita tahu, bahwa salah satu tujuan dzikir adalah untuk meraih ketenangan, agar kita bisa lebih dekat dengan Allah Swt. Untuk mencapai tujuan itu, tentu dibutuhkan dzikir yang tidak hanya sekedar ucapan lisan, melainkan membutuhkan kesungguhan hati, dalam kata lain, dzikir mestilah dilakukan dengan khusuk.
KH. Cholil Nafis, seorang ulama NU menulis, dzikir harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, jiwa yang tulus, dan hati yang khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati yang khusyu' itu diperlukan perjuangan yang tidak ringan. Cara untuk khusuk, menurutnya, berbeda-beda setiap orang. Bisa jadi satu orang lebih khusyu' kalau berdzikir dengan cara duduk menghadap kiblat, sementara yang lain akan lebih khusyu' dan khidmat jika berdzikir dengan cara berdiri atau berjalan, ada pula dengan cara mengeraskan dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir tidak bersuara untuk mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu'-an.
Satu sisi, memang terdapat dalil-dalil yang menyuruh ummat muslim untuk berdzikir dengan suara yang lemah lembut, dan pada sisi yang lain terdapat pula dalil yang membolehkan untuk berdzikir dengan suara keras. NU menganggap dalil-dalil tersebut, baik antara al-Qur’an dengan hadist, maupun hadist dengan hadist, tidaklah saling bertentangan, karena masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Yakni disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Beberapa dalil yang menunjukkan kebolehan dzikir dengan suara keras setelah shalat antara lain hadist riwayat Ibnu Abbas:
“Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan masjid.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Adra’ juga pernah berkata: "Pernah saya berjalan bersama Rasulullah SAW lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid yang sedang mengeraskan suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan."
Sementara dalil yang menjelaskan keutamaan berdzikir dengan secara pelan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Sa'd bin Malik bahwasannya Rasulullah saw bersabda:
"Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi."
Lalu, bagaimana pendapat Ulama NU dalam mengkompromikan dua hadits yang seakan-akan kontradiktif itu? Cholil Nafis, mengutip penjelasan Imam Nawawi sebagai berikut:
“Imam Nawawi menkompromikan (al-jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan kantuk serta menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz III).

Pendapat Imam Nawawi, sebagai juru bicara dari Madzhab Syafi'i, sejalan dengan keterangan yang ditulis Imam Syafi'i dalam kitab Al-Umm, bahwasanya tujuan Nabi Saw. mengeraskan suaranya ketika berdzikir adalah untuk  mengajari orang-orang yang belum bisa melakukannya. Dan jika amalan tersebut untuk hanya pengajaran maka biasanya tidak dilakukan secara terus menerus.
Masalah dzikir dengan suara keras juga disinggung dalam Fathul Mu’in karangan Imam Zainuddin al-Malibari, kitab yang sering dijadikan rujukan kaum Nahdhiyin. Dalam kitab tersebut didapat keterangan bahwa berdzikir dengan suara pelan setelah shalat adalah sunnah, baik bagi orang yang shalat sendirian, maupun berjamaah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka.
Dari keterangan Zainuddin al-Malibari tersebut maka didapati hukum berdzikir dengan suara keras setelah shalat adalah boleh. Jelaslah sekarang, bahwa NU tidak mewajibkan atau mengharuskan warganya untuk berdzikir dengan suara keras, melainkan tergantung kepada situasi dan kondisi; jika dalam kondisi ingin mengajarkan, membimbing dan menambah ke-khusyu’-an maka mengeraskan suara dzikir itu hukumnya sunnah dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan dalam beberapa keadaan sangat dianjurkan untuk mengeraskan dzikir, demikian menurut Chalil Nafis.
c. Dzikir Berjamaah
Salah satu amaliyah warga NU yang terkenal dan mengundang kontroversi dari Ormas lain adalah Istighasah. Arti istighasah adalah memohon pertolongan kepada Allah Swt. Pelaksanaan istighasah diisi dengan doa-doa dan dzikir-dzikir tertentu yang dibaca secara berjamaah dan dipimpin oleh seorang Imam istighasah.
Disebutkan dalam buku Antologi NU, bahwa dalam skala besar, PBNU telah beberapa kali menggelas itighasah Nasional, yang dihadiri lebih dari satu juga kaum Nahdziyin. Pernah diadakan di lapangan Parkir Monas Jakarta, Gelora 10 November dan Lapangan Makodam V brawijaya Surabaya. Di semua tingkat kepengurusan NU, selalu akrab dengan budaya istighasah tersebut, kadang menggunakan istilah istighasah hubro, istighasah nasional, dan lain sebagainya.
Dzikir yang dibaca dalam istighasah dikalangan NU memakai dzikir yang dibakukan oleh Jami’iyah Ahli Thariqah al-Muktabarah an-Nahdhiyah, ijazah dari Sayikhana Chili Bangkalan.
Dalil dianjurkanya istighasah, atau dzikir berjamaah antara lain al-Qur’an surat al-Imran ayat 191:

(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Q.S. al-Imran: 191)
Ada sementara kalangan yang tidak menyepakati digunakannya dalil tersebut sebagai pembolehan dzikir berjamaah. Mereka mengutip pendapat dari Syaikh Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Khumayyis dalam “Adz-Dzikr al-Jama’i baina al-Ittiba’ wal Ibtida’. Menurutnya, sighat (konteks) jama’ dalam ayat di atas (yakni kata “yadzkuruna”) adalah sebagai anjuran yang bersifat umum dan menyeluruh kepada semua umat Islam untuk berdzikir kepada Allah Swt. tanpa kecuali, bukan anjuran untuk melakukan dzikir berjama'ah. Selain itu jika sighat jama’ dalam ayat tersebut dipahami sebagai anjuran untuk melakukan dzikir secara berjama'ah atau bersama-sama maka kita akan kebingungan dalam memahami kelanjutan ayat tersebut. Disebutkan bahwa dzikir itu dilakukan dengan cara berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim), lalu bagaimanakah praktek dzikir bersama-sama dengan cara berdiri, duduk dan berbaring itu? Apakah ada dzikir berjama'ah dengan cara seperti ini?
Selain pernyataan ketidaksepakatan tersebut, yang dipermasalahkan juga oleh mereka yang tidak sependapat adalah bahwa ayat tersebut turun kepada Rasulullah Saw. dan para shahabat berada di samping beliau. Apakah Rasulullah Saw. dan para shahabat memahami ayat tersebut sebagai perintah untuk dzikir bersama-sama satu suara?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dalam buku Risalah Amaliah NU, PCNU Kota Malang. Di sana dibeberkan dalil-dalil lain yang membolehkan dzikir berjamaah, termasuk juga istighasah.
Bahwa Rasulullah dan para para sahabat pernah melantunkan syair (Qasidah/Nasyidah) di saat menggali khandaq (parit). Rasul Saw. dan sahabat r.a bersenandung bersama sama dengan ucapan: "Haamiiim laa yunsharuun..".
Cerita ini termuat dalam buku sejarah tertua, yakni Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab Ghazwat Khandaq. Kitab ini dikarang oleh seorang Tabi’in sehingga datannya dianggap lebih valid.
Pada bab Bab Hijraturrasul saw- bina' masjidissyarif, sebagaimana tertulis dalam Risalah Amaliyah NU, para sahabat juga bersenandung saat membangun membangun Masjidirrasul saw dengan melantunkan syair:
"Laa 'Iesy illa 'Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah." Senandung para sahabat kemudian diikuti oleh Rasulullah dengan semangat.
Mengenai makna berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim), mengandung tafsir, bahwa ayat tersebut diatas lebih dititikberatkan kepada bagaimana tata cara orang shalat, yaitu bisa dilakukan dengan berdiri, duduk, maupun tiduran. Namun secara umum dapat juga diartikan dzikir secara lafdziy. Seseorang dapat berdzikir kepada Allah dengan segala tingkah sesuai kemampuannya. Dalam majlis dzikir, sebagian orang mungkin duduk, sebagian lagi berdiri dan mungkin ada yang tiduran tergantung kondisi masing-masing individu.
Selain dalil di atas, juga ada hadis Qudsy yang menyatakan anjuran untuk berdoa, berdzikir, dengan sirran wa jahran (pelan dan terang), di dalam hati, dalam sendiri maupun berjamaah.
"Bila ia (hambaku) menyebut namaKu dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam Diriku, bila mereka menyebut namaKu dalam kelompok besar, maka Aku pun menyebut (membanggakan) nama mereka dalam kelompok yg lebih besar dan lebih mulia". (HR Muslim).
Selain itu, Sabda Rasulullah Saw juga telah bersabda:
 “Sungguh Allah memiliki malaikat yang beredar di muka bumi mengikuti dan menghadiri majelis majelis dzikir, bila mereka menemukannya maka mereka berkumpul dan berdesakan hingga memenuhi antara hadirin hingga langit dunia, bila majelis selesai maka para malaikat itu berpencar dan kembali ke langit, dan Allah bertanya pada mereka dan Allah Maha Tahu : “Darimana kalian?” Mereka menjawab: ‘Kami datang dari hamba hamba Mu, mereka berdoa padamu, bertasbih padaMu, bertahlil padaMu, bertahmid pada Mu, bertakbir pada Mu, dan meminta kepada Mu, Maka Allah bertanya: “Apa yg mereka minta?”, Malaikat berkata: ‘Mereka meminta sorga, Allah berkata: ‘Apakah mereka telah melihat sorgaku?, Malaikat menjawab: ‘Tidak.’ Allah berkata : “Bagaimana bila mereka melihatnya”. Malaikat berkata: ‘Mereka meminta perlindungan-Mu, Allah berkata: “mereka meminta perlindungan dari apa?”, Malaikat berkata: “Dari Api neraka”, Allah berkata: “apakah mereka telah melihat nerakaku?”, Malaikat menjawab, ‘tidak.’ Allah berkata: ‘Bagaimana kalau mereka melihat neraka Ku. Malaikat berkata: ‘Mereka beristighfar pada Mu.’ Allah berkata: “Sudah kuampuni mereka, sudah kuberi permintaan mereka, dan sudah kulindungi mereka dari apa apa yg mereka minta perlindungan darinya.’ Malaikat berkata: “Wahai Allah, diantara mereka ada si fulan hamba pendosa, ia hanya lewat lalu ikut duduk bersama mereka, Allah berkata: ‘Baginya pengampunanku, dan mereka (ahlu dzikir) adalah kaum yg tidak ada yg dihinakan siapa siapa yg duduk bersama mereka.”
Dzikir bersama, atau istighasah selain merupakan doa bersama dalam rangka memohon pertolongan menghadapi permasalahan yang besar dan jalan yang ditempuh semakin sulit, juga merupakan tandingan untuk panggung panggung maksiat yang dari hari ke hari kian marak saja, menyeret pemuda dan pemudi untuk larut, sehingga sangat mungkin akan melupakan Allah. NU menganggap istighasah atau dzikir berjamaah merupakan suatu perbuatan yang mulia karena berusaha menggemakan nama Allah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar