Menyingkap Sisi Gelap Gerakan Wahabi
Keyakinan
bahwa hanya ada kebenaran tunggal akan menjadi bencana bagi kehidupan beragama.
Setidaknya hal itulah yang terekam dari perjalanan sejarah sekte salafi wahabi.
Sejarah gerakan ini dipenuhi dengan darah umat islam. Banyak sekali
tragedi-tragedi kemanusiaan, kekerasan dan bahkan pembunuhan yang mewarnai
perjalanan dan pengembangan gerakan wahabi. Pun demikian, tak jarang Tuhan
dijadikan alat legeitimasi untuk melangsungkan misi gerakan wahabi.
Kaum
Wahabi mengklaim sebagai muslim yang berkiblat pada ajaran Islam yang pure,
murni. Mereka sering juga menamakan diri sebagai muwahiddun, yang berarti
pendukung ajaran yang memurnikan keesaan Allah (tauhid). Tetapi, mereka juga
menyatakan bahwa mereka bukanlah sebuah mazhab atau kelompok aliran Islam baru,
tetapi hanya mengikuti seruan (dakwah) untuk mengimplementasikan ajaran Islam
yang (paling) benar.
Tujuan
awal aliran Wahabi adalah mengembalikan umat kepada ajaran Islam yang murni
seperti yang termuat dalam Alquran dan sunah. Karenanya, tauhid merupakan tema
pokok dalam doktrin Wahabi. John L Esposito menegemukakan bahwa Abdul Wahhab
memandang tauhid sebagai agama Islam itu sendiri.
Dengan
semangat puritannya, Abdul Wahhab hendak membebaskan Islam dari semua perusakan
yang diyakininya telah menggerogoti Islam seperti tasawuf, tawasul,
rasionalisme, ajaran Syiah dan berbagai praktik inovasi bidah. Wahabisme
memperlihatkan kebencian yang luar biasa terhadap semua bentuk intelektualisme,
mistisisme, dan sektarianisme.‘Abd al-Wahhab sendiri gemar membuat daftar
panjang keyakinan dan perbuatan yang dinilainya munafik, yang bila diyakini
atau diamalkan akan segera mengantarkan seorang muslim berstatus kafir.
Sejak
kelahirannya, aliran wahabi sangat lekat dengan tradisi kekerasan. Bersama
Dinasti Saud, kaum wahabi berusaha menundukkan suku-suku di Jazirah Arab di
bawah bendera Wahabi/Saudi. Menyamun, menyerang, dan menjarah suku tetangga
adalah praktik yang luas dilakukan suku-suku Badui di Jazirah Arab sepanjang
sejarahnya. Setiap suku yang belum masuk wahabi diberi dua tawaran jelas: masuk
wahabi atau diperangi sebagai orang-orang musyrik dan kafir (hlm. 119).
Dalam
doktrinnya, setiap muslim yang tidak mempunyai pemahaman dan praktik agama
Islam yang persis seperti wahabi dianggap murtad dan karenanya memerangi mereka
diperbolehkan, atau bahkan diwajibkan. Razia, penggerebekan dan perampokan pun
dilakukan. Dengan demikian, predikat muslim hanya merujuk secara eksklusif
kepada para pengikut wahabi, seperti kata “muslim” yang digunakan dalam buku
Unwan al-Majd fi Tarikh al-Najd, salah satu buku sejarah resmi wahabisme.
Gerakan
wahabi telah melakukan keganasan dan kekejaman di kota Karbala (1216 H/1802 M)
dengan pembunuhan yang tidak mengenal batas perikemanusiaan. Mereka telah
membunuh puluhan ribu orang Islam, selama kurun waktu 12 tahun ketika mereka
menyerang dan menduduki kota Karbala serta kawasan sekitarnya, termasuk Najaf.
Pada
tahun 1803 M, kaum wahabi menyerang dan memberangus kota Thaif. Di kota itu
mereka membunuh sibuan penduduk sipil, termasuk wanita dan anak-anak yatim.
Bahkan, menurut Muhammad Muhsin al-Amin, mereka turut menyembelih bayi yang
masih di pangkuan ibunya dan wanita-wanita hamil, sehingga tiada seorang pun
yang terlepas dari kekejaman wahabi (hlm. 77).
Setelah
mereka merampas, merusak segala yang ada, membunuh orang-orang tak berdosa, dan
melakukan keganasan yang tidak terkira terhadap umat islam, mereka melanjutkan
kebrutalannya menuju Makkah. Ibnu Bisyr dalam kitabnya Unwan al-Majd fi Tarikh
Najd, menguraikan bahwa pada bulan Muharram 1220 H/1805 M, wahabi di Makkah
membunuh ribuan umat islam yang sedang menunaikan ibadah haji. Dalam cacatan
lain disebutkan, pembunuhan bukan hanya terjadi pada jamaah haji, melainkan
juga pada masyarakat sipil.
Aksi
kekerasan wahabi tidak berhenti sampai disitu. Pada tahun 1341 H/1921 M tentara
wahabi membantai seribu orang lebih rombongan jamaah haji asal Yaman yang
sedang menuju Makkah tanpa sebab yang jelas. Tahun 1408 H/1986 M mereka juga
menyerang jamaah haji asal Iran. Peristiwa itu menewaskan 329 orang dan ribuan
lainnya luka-luka (hlm. 99-100).
Selain
membunuh masyarakat sipil, tentara wahabi juga melakukan pembakaran terhadap
perpustakaan-perpustakaan Islam. Di antara kasus pembakaran buku-buku yang
paling fenomenal adalah pembakaran buku-buku yang terdapat di Perpustakaan
Arab (Maktabah Arabiyah) di Makkah al-Mukarramah. Perpurkaan ini termasuk
perpustakaan yang paling berharga dan paling bernilai historis. Bagaimana
tidak, sedikitnya ada 60.000 buku-buku langka dan sekitar 40.000 masih berupa
manuskrip yang sebagiaannya adalah hasil diktean dari Nabi Muhammad kepada para
sahabatnya, sebagian lagi dari Khulafaur Rasyidin, dan para sahabat Nabi yang
lainnya. Semua buku-buku tersebut dibumi-hanguskan oleh para tentara wahabi.
Sumber:
Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar