Tahlilan dan
Kebohongan Abd. Aziz (Ustad Salafi Wahabi) Dibongkar Oleh Pemeluk Hindu
Pengantar:
Apakah sama agama dan
tradisi? Secara umum dapat dijelaskan, bahwa Agama adalah pengikat jiwa yang
menuntun jalan mencapai Tuhan. Sementara tradisi adalah kebiasaan-kebiasaan di
dalam melaksanakan ajaran agama. Namun seorang Ustadz Abdul Aziz, yang
mengaku mantan Hindu, mengidentikkan tradisi dengan agama Hindu. Padahal Pak
Ustadz ini, katanya, sudah menyandang gelar sarjana agama (SAg) Hindu dan sudah
belajar Hindu selama 25 tahun, serta menguasai Yoga Samadi. Bukan main. Tetapi,
kenapa dia meninggalkan Hindu. Benarkah Mantram Tryambakam kalah dengan suara
Takbir?
Kesaksian Menjadi Muslim
Sebelum saya masuk Islam,
agama saya adalah Hindu. Pendidikan saya Sarjana Agama Hindu. Saya
mempelajari Hindu sudah dua puluh lima tahun. Orang mungkin tidak akan percaya
kalau saya bisa sampai masuk Islam. Saya berkasta brahmana. Nama depan saya
‘’Ida Bagus’’ (dia tidak menyebutkan nama Hindunya). Saya menguasai yoga
samadi.
Saya melakukan praktek yoga
samadi di Pura Mandara Giri Lumajang bersama beberapa orang teman saya.
Pada suatu hari saya disarankan untuk membaca Mantram Tryambakam. Saya pun
terus aktif membaca Mantram Tryambakam, pagi, sore dan malam. Pada hari ketiga
yang melakukan yoga samadi, saya diuji Tuhan, ribuan nyamuk datang dan
mengerubuti saya. Saya kemudian bacakan Mantram Tryambakam, nyamuk itu hilang.
Pada hari kelima saya melakukan yoga semadi, saya lagi diuji Tuhan, aroma bau
busuk menebar dari tubuh saya. Saya kemudian membacakan Tryambakam, bau busuk
di tubuh saya pun hilang.
Pada hari ketujuh saya
melakukan yoga samadi, tiba-tiba hati saya berdebar-debar. Saya terus membaca
Tryambakam, tetapi guncangan hati saya tidak berhenti. Dalam situasi
berdebar-debar, tiba-tiba saya mendengar suara takbir ‘’Allahuakbar …
Allahuakbar’’. Padahal malam itu bukan malam idul fitri, lantas dari mana suara
takbir itu datang. Saya coba lawan dengan Mantram Triyambakam, namun suara
takbir itu tidak hilang, malah suaranya semakin jelas dan kuat. Dari situ saya kemudian
berpikir bahwa ini adalah hidayah bagi saya. Saya kemudian masuk Islam pada
tahun 1995, dan naik haji pada tahun 1996. Sepulang saya dari haji, kedua orang
tua saya dan lima saudara saya semua ikut dengan saya masuk agama islam.
_______________________________
Tanggapan dari Pendeta Hindu Soal Selamatan Atau Tahlilan
Panca Yajna: Upacara Selamatan?
Tidak ada maksud sedikitpun
dari penulis untuk mencampuri urusan privacy seorang Ustazd Abdul Aziz,
lebih-lebih mengenai pilihan jalan (agama) penuntun hidupnya. Cuma
saja, yang mengundang perhatian saya, karena di dalam ceramahnya yang berdurasi
sekitar satu setengah jam (dua CD) tersebut, Pak Ustadz telah menjadikan ajaran
‘’Agama’’ Hindu sebagai bahan banyolan, di antaranya seperti kalimat-kalimat yang
dicetak miring berikut ini:
Pertama. Panca Yajna adalah
lima upacara selamatan di dalam agama Hindu, masing-masing:
1. Dewa yajna
yakni selamatan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa.
2. Rsi yajnya adalah selamatan kepada orang-orang yang dianggap suci.
3. Pitra yajna adalah selamatan kepada roh leluhur.
4. Manusa yajna adalah selamatan kepada manusia.
5. Butha yajna adalah selamatan kepada mahluk bawahan.
2. Rsi yajnya adalah selamatan kepada orang-orang yang dianggap suci.
3. Pitra yajna adalah selamatan kepada roh leluhur.
4. Manusa yajna adalah selamatan kepada manusia.
5. Butha yajna adalah selamatan kepada mahluk bawahan.
Melakukan selamatan ini
adalah wajib hukumnya di dalam Agama Hindu. Contoh selamatan pada hari
kematian, acaranya berlangsung pada hari pertama, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100 dan
nyewu (hari ke-1000). ‘’Kalau tidak punya uang untuk melaksanakan selamatan,
wajib utang kepada tetangga. (jamaah tertawa).
Sebab bila keluarga yang
meninggal tidak diselamatin, rohnya akan gentayangan, menjelma menjadi hewan,
binatang, bersemayam di keris dan jimat, dll. Makanya pohon-pohon
diberi sarung, dan pada setiap hari Sukra Umanis jimat dan keris diberi minum
kopi. ‘’Sedangkan yang melaksanakan selamatan, dapat tiket langsung masuk
surga.’’ Di dalam Islam tidak ada selamatan-selamatan, tetapi yang ada adalah
sedekoh. Sedekoh punya kelebihan dari selamatan yakni memberikan sedekoh ketika
kita punya kelebihan yang biasanya dilakukan pada menjelang bulan puasa. Jadi
bukan hasil utang.
Tanggapan Penulis. Sejak SD
saya belajar agama Hindu, sampai sekarang Panca Yajna itu artinya lima korban
suci. Bahkan di dalam Kitab Bhagawad Gita, yajna berarti bakti,
pengabdian, persembahan dan kurban (sedekah) yang dilakukan dengan tulus iklas
(hati suci). Bukan berharap untung yang lebih besar kepada Tuhan dari sedekoh
yang kecil kepada manusia. Jadi Panca Yajnya itu adalah berbakti
(sujud) kepada Tuhan (Dewa Yajna), bakti kepada orang suci (Rsi Yajna),
berbakti kepada leluhur (pitra yajna), melayani (berderma) kepada sesama
(manusa yajna) dan bersedekah kepada bahluk bawahan (butha yajna).
Tidak ada saya jumpai arti Panca Yajna adalah lima upacara selamatan dan wajib
ngutang, seperti kitab yang dibaca Ustadz Abdul Aziz.
Istilah selamatan tidak ada di dalam Hindu, apalagi selamatan atas kematian. Adapun rangkaian upacara kematian di dalam Hindu seperti nelun, ngaben, ngeroras (memukur) dll. pada intinya merupakan penyucian sang jiwa dari unsur badan fisik, mendoakan agar perjalanan sang jiwa tidak mendapatkan halangan, memperoleh ketenangan dan kedamaian di alam pitra. (Kitab Asvalayana Griha Sutra). Masalah dia (sang jiwa) mendapat tiket ke sorga atau akan masuk neraka, tergantung dari bekal karmanya. Yang jelas sangat tidak ditentukan oleh acara selamatan.
Apalagi kalau dikatakan
bahwa roh yang tidak diselamatin akan gentayangan, menjelma jadi hewan atau
pohon, itu ada di cerita film kartun. Proses reinkarnasi berlangsung puluhan bahkan
mungkin sampai ratusan tahun. Sementara pohon-pohon di berikan busana
(sarung: menurut Ustazd Abdul Aziz), adalah sebagai tanda bahwa pohon-pohon
tersebut dilestarikan dan tidak boleh ditebang sembarangan. Ini wujud bahwa
Hindu cinta lingkungan.
Kedua. Di dalam agama
Hindu, dalam memberangkatkan mayat ada tradisi trobosan yakni berjalan
menerobos di bawah keranda mayat, sebagai wujud bhakti kepada orang tua yang
meninggal. Dan ketika mayat ditandu ke kuburan, di sepanjang jalan
dipayungi. Apakah mayatnya kepanasan? Belum pernah mati kok tahu mayat
kepanasan. Di Islam acara-acara semacam itu tidak ada dasar hukumnya baik di
hayat maupun hadist.
Tanggapan Penulis. Dengan
tanpa bermaksud merendahkan kemampuan sosok Ustadz Abdul Aziz di bidang agama,
namun perlu saya sampaikan bahwa rangkaian acara satu hari, 3, 7, 40, 100 dan
nyewu, menurut hemat saya adalah tradisi di dalam kehidupan beragama
dengan berbagai tujuan dan motivasinya. Misalnya ‘’Tradisi Nyewu di
Yogyakarta’’ yang pernah dimuat di Media Hindu. Tolong dibedakan antara agama
dan tradisi.
Ketiga. Apakah Tuhan Hindu
minta makan? Lihat ini, Dewa makan bubur hangat. Dewa Brahma masih
doyan pisang rebus (Ustadz menunjukkan gambar Brahma disertai sesajen termasuk
tumpeng). Tumpeng bagi Hindu dianggap simbol Tri Murti. Barang siapa yang bisa
membikin tumpeng, berarti dia sudah masuk Hindu.
Tanggapan Penulis. Orang
bodoh pun tahu bahwa Tuhan tidak butuh apapun dari manusia, apalagi pisang
rebus. Makanan duniawi cuma dibutuhkan oleh badan fisik, tidak untuk
badan rohani. Persembahan berupa bebantenan yang dilakukan oleh orang Bali yang
beragama Hindu bukan untuk memberi dewa (Tuhan) makan. Akan tetapi, melakukan
persembahan merupakan cara umat Hindu untuk mewujudkan rasa bhakti dan ungkapan
rasa terimakasih kepada Tuhan atas segala anugerah-Nya. Persembahan tersebut
kemudian dimohonkan untuk diberkati untuk selanjutnya dapat kita nikmati.
‘’Yang baik makan setelah upacara bakti, akan terlepas dari segala dosa, tetapi
menyediakan makanan lezat hanya bagi sendiri, mereka ini sesungguhnya makan
dosa. ‘’ (BG. III.13)
Bisa membuat tumpeng
berarti masuk Hindu? Ini bombastis. Untuk menjadi Hindu ada proses
ritualnya, di antaranya upacara sudi widana dan mengucapkan Panca Sradha.
Banyak orang muslim, kristen dan Budha yang pandai membuat tumpeng, apakah itu
berarti mereka masuk Hindu?
Para Wali Menjiplak Weda?
Menanggapi pertanyaan
seorang jamaah mengenai film seri kartun ‘’Little Krsna’’ di TV, Ustadz Abdul
Aziz mengatakan, ‘’Hati-hati, awasi anak-anak kita, itu cara-cara
orang di luar muslim untuk melakukan cuci otak terhadap anak-anak kita
(muslim).’’ Sedangkan setahu saya, cuci otak itu adalah cara teroris untuk
merekrut anggota. Teroris itu siapa? Tidak pernah ada di dalam Hindu gerakan
cuci otak untuk merekrut orang (agama) lain. Yang ada malah sebaliknya, orang
di luar Hindu yang sibuk melakukan gerakan konversi untuk memperoleh tabungan
pahala.
Benarkah para wali dulu
mengubah (menjiplak) doa-doa Hindu ke dalam bahasa Alquran?’’ Atas pertanyaan
seorang jamaah lainnya ini, Ustadz Abdul Aziz tidak kuasa menjawab.
‘’Saya tidak berani menjawab pertanyan ini, karena saya tidak punya referensi
sebagai dasar,’’ tangkisnya. Apa makna di balik kata tidak berani tersebut? Apa
benar dia tidak punya referensi?
Seorang ustadz yang mengaku
telah belajar weda selama 25 tahun, tetapi referensi yang disampaikan kok malah
muter-muter soal tradisi melulu; acara selamatan, terobosan, memayungi
mayat, pohon pakai sarung, keris dan jimat minum kopi, membuat tumpeng.
Padahal harus disadari,
yang namanya tradisi tentulah berbeda sesuai dengan desa, kala, patra (tempat,
waktu dan keadaan), baik di dalam satu agama apalagi beda agama. Semua
agama punya tradisi, termasuk di kalangan umat Islam. Tetapi sepanjang hal itu
dilakukan sebagai ungkapan rasa bhakti, rasa hormat dan doa, kenapa tidak
diapresiasi. Tidak ada dasar hukumnya (bida’ah)? Sekarang zaman komputerisasi,
di mana-mana orang pakai laptop, HP, pesawat terbang, sepeda motor, apakah juga
bida’ah menurut Islam?
Selama berceramah, tidak
ada sepotong filsafatpun yang terlontar dari mulut sang ustadz. Sementara
esensi dari ajaran Hindu ada pada filsafat. Di situ logika dimainkan,
bukan sekedar keyakinan semu dengan menelan mentah ayat-ayat.
Mantram Tryambakam adalah
syair yang sakral dan memiliki kekuatan (energi) gaib. Kalau sekedar
ngusir nyamuk dan menghilangkan bau busuk, ngapain harus melakukan yoga samadi
sampai tujuh hari tujuh malam, cukup dengan autan saja. Sedangkan di dalam
melakukan yoga samadi, pada tahap tertentu, berbagai bentuk godaan bisa saja
muncul. Namun hal itu bukanlah petunjuk Tuhan (hidayah), malah bila kita tidak
kuat bisa terjerumus.
Oleh: I. K.
Sugiartha ( Sisya Grya Taman Narmada ),
Penulis: I. K. Sugiartha
Sisya Grya Taman Narmada,
Lombok Barat.
HP. 081917180160
kalau saya mantan kristen, kalau bilang memperingati kematian 1-7, 40, 100, setahun di kristen juga ada.. apa mau disebut wahabi juga :D
BalasHapusdasar kalian sesat, islam gadungan
nih saya kasih link orang kriten tahlilan
http://mualaf-indonesia.blogspot.com/2013/11/memperingati-kematian-di-kristen-juga.html
bismillah,
BalasHapusana cuma mau pesen aja kpd antum sekalian,
krn jika ana (ceramahin) keluarkan dalil2 tentang larangan2 akan hal ini ana yakin antum sudah berapa kali mendengar nya dan tidak ada sedikitpun rasa kesadaran dari diri antum utk meninggalkan ibadah yg tidak ada tuntunan ny ni..
"lebih baik melakukan ajaran yg sudah ada tuntunannya (sunnah nabi) walaupun SEDERHANA, dri pada BERGIAT2 dlam melakukan bid'ah (ajaran yg tidak ada tuntunannya).."
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)
wkwkwkwk muallaf koq dah keluarin fatwa sesat..hihihihihi lucu
BalasHapusjadilah orang yang bijak jgn yang satu ngomong gini.....
BalasHapusyang satu ngomong bgtu,,,,,,
bapak yang terhormat ( I. K. Sugiartha) jika anda ingin klarifikasi
la bok yo dateng aja kerumah ust.abdul aziz gtuloh....
kan enak bsa minum kopi bareng sambil ngobrol gak usah kyagni jadilah orang yg bijaksana. :)
Memang dari hindu gitu kok, ngotot kagak ngaku
BalasHapus