Salah seorang pembaca media Online terkemuka di Inndonesia menanyakan
fasal tentang tawassul atau mendoakan melalui perantara orang yang
sudah meninggal. “Apakah bertawasul/berdo’a dengan perantaraan orang
yang sudah mati hukumnya haram atau termasuk syirik karena sudah meminta
kepada sang mati (lewat perantaraan)? Saya gelisah, karena amalan ini
banyak dilakukan oleh masyarakat di Indonesia. Apalagi dilakukan sebelum
bulan Ramadhan dengan mengunjungi makam-makam wali dan lain-lain
sehingga untuk mendo’akan orang tua kita yang sudah meninggal pun seakan
terlupakan,” katanya.
Perlu kami jelaskan kembali bahwa tawassul secara bahasa artinya
perantara dan mendekatkan diri. Disebutkan dalam firman Allah SWT:
يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, ” (Al-Maidah:35).
Pengertian tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat muslim selama
ini bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu
perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui
orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah
SWT. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah
SWT. Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa.
Banyak sekali cara untuk berdoa agar dikabulkan oleh Allah SWT,
seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam,
berdoa dengan didahului bacaan alhamdulillah dan shalawat dan meminta
doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha
agar doa yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah SWT . Dengan
demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan
keharusan
Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul kepada Allah SWT dengan
perantaraan amal sholeh, sebagaimana orang melaksanakan sholat, puasa
dan membaca Al-Qur’an. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan
dalam hadits sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang
terperangkap di dalam gua, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT
atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya; yang kedua bertawassul
kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan
tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya; dan yang ketiga
bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga
amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka
Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.
Adapun yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah bagaimana
hukumnya bertawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan
seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi
di mata Allah SWT. Sebagaimana ketika seseorang mengatakan: “Ya Allah
SWT aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad SAW atau Abu
Bakar atau Umar dll”. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.
Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama
mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan
mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan
perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat
(entitas seseorang), adalah tawassul pada amal perbuatannya, sehingga
masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’. Pendapat
ini berargumen dengan prilaku (atsar) sahabat Nabi SAW:
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ إِنَّ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ كَانَ إِذَا
قَحَطُوْا اسْتَسْقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ
اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إَلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِيْنَا
وَإِنَّا نَنَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا
فَاسْقِنَافَيَسْقُوْنَ. أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137
“Dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau
panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu
Umar berkata: “Ya Allah, kami telah bertawassul dengan Nabi kami SAW dan
Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman Nabi
kita SAW, maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun turun.” (HR. Bukhori)
Imam Syaukani mengatakan bahwa tawassul kepada Nabi Muhammad SAW
ataupun kepada yang lain (orang shaleh), baik pada masa hidupnya maupun
setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para sahabat. “Ketahuilah
bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup,
tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan
derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia,
tetapi dari Allah SWT yang telah memilih orang tersebut hingga ia
menjadi hamba yang shalih, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi
kekuasaan Allah SWT, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka
kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat.”
Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah SWT menjadikan
perantaraan berupa sesuatu yang dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan
bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut. Orang yang
bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah SWT
bisa memberi manfaat dan madlarat kepadanya. Jika ia berkeyakinan bahwa
sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi
manfaat dan madlarat, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena
yang bisa memberi manfaat dan madlarat sesungguhnya hanyalah Allah SWT
semata.
Jadi kami tegaskan kembali bahwa sejatinya tawassul adalah berdoa
kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa
amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai
posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Tawassul hanyalah merupakan pintu
dan perantara dalam berdoa untuk menuju Allah SWT. Maka tawassul
bukanlah termasuk syirik karena orang yang bertawasul meyakini bahwa
hanya Allah-lah yang akan mengabulkan semua doa. Wallahu a’lam bi
al-shawab.
H M. Cholil Nafis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar