Masyarakat
Jawa masih mengenal “sesaji”. Bahkan sampai sekarang, masih ada banyak
masyarakat Jawa yang meneruskan tradisi sesaji. Namun, yang telah menjadi
tradisi bagi masyarakat Jawa ini, oleh masyarakat modern dianggap sebagai
klenik, mistik, irasional, dan segala jenis sebutan lain yang terkesan negatif
terhadap tradisi sesaji. Hanya sedikit yang melihatnya sebagai manifestasi
bentuk lain dari doa. Dalam kata lain, sesaji adalah wujud dari sistem religi masyarakat
Jawa.
Sesaji Dalam
Pernikahan Jawa
Ada bermacam-macam sesaji dalam kehidupan masyarakat Jawa, salah satunya adalah sesaji dalam hajatan pernikahan. Selain itu, ada pula sesaji untuk kematian dan kelahiran, yang dikenal dalam istilah siklus kehidupan manusia Jawa, yaitu: Metu-Manten-Mati (lahir-pernikahan-kematian). Dalam mengadakan acara mantu -hajatan pernikahan- masyarakat Jawa mengenal adanya syarat dan sesaji tertentu.
Tradisi kuno
masyarakat Jawa memiliki tata cara lengkap dalam pernikahan; sebelum
pernikahan, hari pelaksanaan, dan sesudah pernikahan. Meskipun zaman semakin
berkembang, namun kebiasaan untuk tetap mempertahankan tradisi tetap dipegang
kuat. Setiap sesaji memiliki maknanya sendiri-sendiri. Bahkan cara pembuatan
dan penyajiannya pun berbeda-beda. Kekayaan makna dalam sesaji ini
menggambarkan roda kehidupan, lika-liku dan naik turun kehidupan manusia, dari
lahir hingga kematian.
Ada 4 jenis
sesaji sebelum melaksanakan hajatan mantu. Adapaun sesaji tersebut antara lain
:
Sesaji
Patenan
Sesaji Patenan atau biasa disebut sajen kobongan diletakkan didalam kamar tengah. Adapun isi Sajen Patenan antara lain daun keluwih, apa-apa ilalang, dadap srep, kluwak, kara, biji kemiri yang gepak jendul, benda, kisi, cermin, sisir, suri, munyak telon -yang terbuat dari bungan melati, kenanga dan kantil-, tikar yang baru, kendi, damar, cuplak, jajan, minyak sunthi langit, gula kelapa satu tangkep, beras satu kati, pisang ayu, sirih ayu, gambir, jambe dengan tangkalnya, kembang boreh, kemenyan, tebu, bubur merah, bubur putih, bubur baro-baro, kepala kerbau -dapat diganti dengan bagian-bagian kerbau seperlunya saja-, jadah bakar, ayam yang masih hidup, pindang antep, kalak -ikan bakar yang ditusuk tanpa bumbu-, serta uang rong wang seperempat 19,5 sen -untuk zaman sekarang uang jumlahnya bisa disesuaikan menurut kemauan kita-.
Sesaji Patenan atau biasa disebut sajen kobongan diletakkan didalam kamar tengah. Adapun isi Sajen Patenan antara lain daun keluwih, apa-apa ilalang, dadap srep, kluwak, kara, biji kemiri yang gepak jendul, benda, kisi, cermin, sisir, suri, munyak telon -yang terbuat dari bungan melati, kenanga dan kantil-, tikar yang baru, kendi, damar, cuplak, jajan, minyak sunthi langit, gula kelapa satu tangkep, beras satu kati, pisang ayu, sirih ayu, gambir, jambe dengan tangkalnya, kembang boreh, kemenyan, tebu, bubur merah, bubur putih, bubur baro-baro, kepala kerbau -dapat diganti dengan bagian-bagian kerbau seperlunya saja-, jadah bakar, ayam yang masih hidup, pindang antep, kalak -ikan bakar yang ditusuk tanpa bumbu-, serta uang rong wang seperempat 19,5 sen -untuk zaman sekarang uang jumlahnya bisa disesuaikan menurut kemauan kita-.
Sesaji
Pedaringan
Sesaji Pedaringan ini jenisnya hampir sama dengan Sesaji Patenan, hanya saja ada perbedaan sedikit.Perbedaannya dalam Sesaji Pedaringan tidak terdapat kalak dan pindang antep.
Sesaji Pedaringan ini jenisnya hampir sama dengan Sesaji Patenan, hanya saja ada perbedaan sedikit.Perbedaannya dalam Sesaji Pedaringan tidak terdapat kalak dan pindang antep.
Sesaji
Pendheman
Yang dimaksud dengan Sesaji Pendheman adalah sesaji yang ditimbun. Sesaji Pendheman dimaksudkan untuk menolak hal-hal jahat seperti guna-guna atau tenung. Empluk atau tempat sesaji untuk Sesaji Pendheman itu berisi ikan asin -gereh petek-, kacang hijau, kedelai, telur ayam kampung mentah, biji kemiri, gantal -gulungan daun sirih-, minyak dan air yang dicampur dengan persentase pencampurannya masing-masing setengah botol. Setelah semuanya sudah komplit maka sesaji tersebut ditanam di muka pintu utama, di muka dapur dan perempatan jalan.
Yang dimaksud dengan Sesaji Pendheman adalah sesaji yang ditimbun. Sesaji Pendheman dimaksudkan untuk menolak hal-hal jahat seperti guna-guna atau tenung. Empluk atau tempat sesaji untuk Sesaji Pendheman itu berisi ikan asin -gereh petek-, kacang hijau, kedelai, telur ayam kampung mentah, biji kemiri, gantal -gulungan daun sirih-, minyak dan air yang dicampur dengan persentase pencampurannya masing-masing setengah botol. Setelah semuanya sudah komplit maka sesaji tersebut ditanam di muka pintu utama, di muka dapur dan perempatan jalan.
Sesaji
Buwangan
Yang dimaksud dengan Sesaji Buwangan adalah sesaji yang dibuang. Adapun isi Sesaji Buwangan adalah ikan asin -gereh petek-, kedelai, kacang hijau, kemiri, telur ayam, gantal -gulungan daun sirih-, minyak dan air yang dicampur dengan persentase pencampurannya masing-masing setengah botol, kembang boreh, bubur merah, bubur putih, baro-baro -bubur putih dengan bubur merah ditengahnya, gecok mentah, semuanya diletakkan di patanen -tempat tidur-, gandok, sebelah timur atau barat gedung -rumah-, semua pintu, pojok rumah, sumur, kamar mandi, toilet, bak sampah, tempat gamelan, perempatan jalan, sungai dan pintu halaman.
Yang dimaksud dengan Sesaji Buwangan adalah sesaji yang dibuang. Adapun isi Sesaji Buwangan adalah ikan asin -gereh petek-, kedelai, kacang hijau, kemiri, telur ayam, gantal -gulungan daun sirih-, minyak dan air yang dicampur dengan persentase pencampurannya masing-masing setengah botol, kembang boreh, bubur merah, bubur putih, baro-baro -bubur putih dengan bubur merah ditengahnya, gecok mentah, semuanya diletakkan di patanen -tempat tidur-, gandok, sebelah timur atau barat gedung -rumah-, semua pintu, pojok rumah, sumur, kamar mandi, toilet, bak sampah, tempat gamelan, perempatan jalan, sungai dan pintu halaman.
Masyarakat
Jawa sampai sekarang masih meneruskan legalitas pernikahan. Masalahnya setelah
legalitas formal dipenuhi, yang kemudian diutamakan adalah resepsi di gedung.
Seolah pesta di gedung merupakan puncak dari yang disebut pernikahan. Religiusitas
pernikahan seakan bergeser pada harta kekayaan. Jika dilihat pada pijakan hidup
masyarakat Jawa yang terdiri dari: dharma (kewajiban), harta (kekayaan),
kama (asmara), dan moksa (hilang), upacara pernikahan zaman
sekarang, seakan lebih kuat berorientasi pada harta dan melupakan dharma.
Mungkin saja, pernikahan zaman sekarang merupakan representasi dari kehidupan
modern yang serba wadag (raga), materialistis, instan dan tidak
menganggap penting religi lokal.
Memang sulit
dihindari, karena saat ini pada setiap upacara pernikahan hampir selalu
ditemukan resepsi. Masyarakat Jawa dalam resepsi pernikahan seperti kembali
menghidupkan kebiasaan basa-basi, yang diwadahi dalam gebyar. Namun, itu
sesungguhnya menyimpan beragam persoalan dari segi ekonomi, budaya, dan religi.
Dari segi ekonomi bisa dilihat pada jumlah biaya dan sumber biaya. Lalu, apakah
jumlah biaya yang dikeluarkan minimal bisa impas dari sumbangan atau kado yang
diterima. Dilihat dari segi budaya, resepsi pernikahan lebih pada representasi
gaya hidup masa kini. Sedangkan dari segi religi, pernikahan yang dilakukan
telah menghilangkan atau mengabaikan tradisi sesaji masyarakat Jawa.
Mungkin saja
yang menyebabkan religi lokal jawa ini dikesampingkan adalah karena masyarakat
Jawa sekarang ini tidak mengenal sesaji, atau kalaupun mengenal hanya
sepotong-potong. Tradisi sesaji sepertinya terlihat dan terkesan ribet dan
tidak praktis, serta bertentangan dengan budaya instan masyarakat saat ini.
Padahal tidak demikian, karena bahan-bahan dalam sesaji dapat dengan mudah
ditemukan di sekitar kita, serta dengan praktis dapat pula disiapkan. Jadi,
marilah kita melihat kembali representasi sesaji dalam pernikahan adat Jawa,
karena selain merupakan wujud lain dari doa syukur dan permohonan, kita
juga dapat ikut serta melestarikan kebudayaan Jawa. Sesaji Dalam
Pernikahan Jawa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar