(Oleh: I. K. Sugiartha)
Apakah sama agama dan tradisi? Secara umum
dapat dijelaskan, bahwa Agama adalah pengikat jiwa yang menuntun jalan
mencapai Tuhan. Sementara tradisi adalah kebiasaan-kebiasaan di dalam
melaksanakan ajaran agama. Namun seorang Ustadz Abdul
Aziz, yang mengaku mantan Hindu, mengidentikan tradisi
dengan agama Hindu. Padahal Pak Ustadz ini,
katanya, sudah menyandang gelar sarjana agama
(SAg) Hindu dan sudah belajar Hindu selama 25 tahun, serta
menguasai Yoga Samadi. Bukan main. Tetapi, kenapa dia
meninggalkan Hindu. Benarkah Mantram Tryambakam kalah dengan suara
Takbir?
Inilah rangkuman kesaksian Ustadz Abdul Aziz yang
disampaikan di dalam sebuah pengajian yang bertajuk ‘’Kesaksian
Hidayah Mantan Pemeluk Hindu’’ di Surakarta, Jawa Tengah, pada Rabu,
21 Juli 2010, rekamannya beredar di tengah-tengah masyarakat, penulis
sampaikan dengan gaya bertutur seperti berikut ini.
Sebelum saya masuk Islam, agama saya
adalah Hindu. Pendidikan saya Sarjana Agama Hindu.
Saya mempelajari Hindu sudah dua puluh lima tahun. Orang
mungkin tidak akan percaya kalau saya bisa sampai masuk Islam. Saya
berkasta brahmana. Nama depan saya ‘’Ida Bagus’’ (dia tidak menyebutkan
nama Hindunya). Saya menguasai yoga samadi.
Saya melakukan praktek yoga samadi di Pura Mandara Giri
Lumajang bersama beberapa orang teman saya. Pada suatu hari saya
disarankan untuk membaca Mantram Tryambakam. Saya pun terus aktif membaca
Mantram Tryambakam, pagi, sore dan malam. Pada hari ketiga yang melakukan yoga
samadi, saya diuji Tuhan, ribuan nyamuk datang dan mengerubuti saya. Saya
kemudian bacakan Mantram Tryambakam, nyamuk itu hilang. Pada hari kelima saya
melakukan yoga semadi, saya lagi diuji Tuhan, aroma bau busuk
menebar dari tubuh saya. Saya kemudian membacakan Tryambakam, bau busuk di
tubuh saya pun hilang.
Pada hari ketujuh saya melakukan yoga samadi,
tiba-tiba hati saya berdebar-debar. Saya terus membaca Tryambakam, tetapi
guncangan hati saya tidak berhenti. Dalam situasi berdebar-debar,
tiba-tiba saya mendengar suara takbir ‘’Allahuakbar … Allahuakbar’’. Padahal
malam itu bukan malam idul fitri, lantas dari mana suara takbir itu datang.
Saya coba lawan dengan Mantram Triyambakam, namun suara takbir itu tidak
hilang, malah suaranya semakin jelas dan kuat. Dari situ saya kemudian
berpikir bahwa ini adalah hidayah bagi saya.
Saya kemudian masuk Islam pada tahun 1995,
dan naik haji pada tahun 1996. Sepulang saya dari haji, kedua orang
tua saya dan lima saudara saya semua ikut dengan saya masuk agama islam.
Panca Yajna: Upacara Selamatan?
Tidak ada maksud sedikitpun dari penulis untuk
mencampuri urusan privacy seorang Ustazd Abdul Aziz,
lebih-lebih mengenai pilihan jalan (agama) penuntun hidupnya. Cuma saja,
yang mengundang perhatian saya, karena di dalam ceramahnya
yang berdurasi sekitar satu setengah jam (dua CD) tersebut, Pak
Ustadz telah menjadikan ajaran ‘’Agama’’ Hindu sebagai bahan
banyolan, di antaranya seperti kalimat-kalimat yang dicetak miring
berikut ini:
Pertama. Panca Yajna adalah lima
upacara selamatan di dalam agama Hindu, masing-masing:
1. Dewa yajna yakni
selamatan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa.
2. Rsi yajnya adalah
selamatan kepada orang-orang yang dianggap suci.
3. Pitra yajna adalah
selamatan kepada roh leluhur.
4. Manusa yajna adalah
selamatan kepada manusia.
5. Butha yajna adalah
selamatan kepada mahluk bawahan.
Melakukan selamatan ini adalah wajib hukumnya di dalam
Agama Hindu. Contoh selamatan pada hari kematian, acaranya
berlangsung pada hari pertama, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100 dan nyewu
(hari ke-1000). ‘’Kalau tidak punya uang untuk melaksanakan
selamatan, wajib utang kepada tetangga. (jamaah tertawa).
Sebab bila keluarga yang meninggal tidak diselamatin, rohnya akan
gentayangan, menjelma menjadi hewan, binatang, bersemayam di keris
dan jimat, dll. Makanya pohon-pohon diberi sarung, dan pada setiap hari Sukra
Umanis jimat dan keris diberi minum kopi. ‘’Sedangkan yang melaksanakan
selamatan, dapat tiket langsung masuk surga.’’ Di dalam Islam tidak ada
selamatan-selamatan, tetapi yang ada adalah sedekoh. Sedekoh punya kelebihan
dari selamatan yakni memberikan sedekoh ketika kita punya kelebihan yang biasanya
dilakukan pada menjelang bulan puasa. Jadi bukan hasil utang.
Tanggapan Penulis. Sejak SD saya belajar
agama Hindu, sampai sekarang Panca Yajna itu artinya lima korban suci.
Bahkan di dalam Kitab Bhagawad Gita, yajna berarti bakti, pengabdian, persembahan
dan kurban (sedekah) yang dilakukan dengan tulus iklas (hati suci). Bukan
berharap untung yang lebih besar kepada Tuhan dari sedekoh yang
kecil kepada manusia. Jadi Panca Yajnya itu adalah berbakti (sujud) kepada
Tuhan (Dewa Yajna), bakti kepada orang suci (Rsi
Yajna), berbakti kepada leluhur (pitra yajna), melayani (berderma)
kepada sesama (manusa yajna) dan bersedekah kepada bahluk bawahan (butha
yajna). Tidak ada saya jumpai arti Panca Yajna adalah lima upacara selamatan
dan wajib ngutang, seperti kitab yang dibaca Ustadz Abdul
Aziz.
Istilah selamatan tidak
ada di dalam Hindu, apalagi selamatan
atas kematian. Adapun rangkaian upacara kematian di
dalam Hindu seperti nelun, ngaben, ngeroras (memukur) dll. pada
intinya merupakan penyucian sang jiwa dari unsur badan fisik, mendoakan
agar perjalanan sang jiwa tidak mendapatkan halangan, memperoleh
ketenangan dan kedamaian di alam pitra. (Kitab Asvalayana Griha
Sutra). Masalah dia (sang jiwa) mendapat tiket ke sorga atau akan
masuk neraka, tergantung dari bekal karmanya. Yang jelas sangat
tidak ditentukan oleh acara selamatan.
Apalagi kalau dikatakan bahwa roh yang tidak
diselamatin akan gentayangan, menjelma jadi hewan atau pohon, itu
ada di cerita film kartun. Proses reinkarnasi berlangsung puluhan bahkan
mungkin sampai ratusan tahun. Sementara pohon-pohon di berikan busana
(sarung: menurut Ustazd Abdul Aziz), adalah sebagai tanda
bahwa pohon-pohon tersebut dilestarikan dan tidak boleh ditebang sembarangan.
Ini wujud bahwa Hindu cinta lingkungan.
Kedua. Di dalam agama Hindu, dalam
memberangkatkan mayat ada tradisi trobosan yakni berjalan menerobos di bawah
keranda mayat, sebagai wujud bhakti kepada orang tua yang meninggal. Dan ketika
mayat ditandu ke kuburan, di sepanjang jalan dipayungi. Apakah mayatnya
kepanasan? Belum pernah mati kok tahu mayat kepanasan. Di Islam acara-acara
semacam itu tidak ada dasar hukumnya baik di hayat maupun hadist.
Tanggapan Penulis. Dengan tanpa bermaksud merendahkan
kemampuan sosok Ustadz Abdul Aziz di bidang agama, namun perlu saya sampaikan
bahwa rangkaian acara satu hari, 3, 7, 40, 100 dan nyewu, menurut
hemat saya adalah tradisi di dalam kehidupan beragama dengan berbagai tujuan
dan motivasinya. Misalnya ‘’Tradisi Nyewu di Yogyakarta’’ yang pernah dimuat di
Media Hindu. Tolong dibedakan antara agama dan tradisi.
Ketiga. Apakah Tuhan Hindu minta makan?
Lihat ini, Dewa makan bubur hangat. Dewa Brahma masih doyan pisang
rebus (Ustadz menunjukkan gambar Brahma disertai sesajen
termasuk tumpeng). Tumpeng bagi Hindudianggap simbol Tri Murti.
Barang siapa yang bisa membikin tumpeng, berarti dia sudah masuk Hindu.
Tanggapan Penulis. Orang bodoh pun tahu bahwa Tuhan
tidak butuh apapun dari manusia, apalagi pisang rebus. Makanan duniawi cuma dibutuhkan
oleh badan fisik, tidak untuk badan rohani. Persembahan berupa bebantenan yang
dilakukan oleh orang Bali yang beragama Hindu bukan untuk memberi
dewa (Tuhan) makan. Akan tetapi, melakukan persembahan merupakan cara
umat Hindu untuk mewujudkan rasa bhakti dan ungkapan rasa
terimakasih kepada Tuhan atas segala anugerah-Nya. Persembahan tersebut
kemudian dimohonkan untuk diberkati untuk selanjutnya dapat kita nikmati.
‘’Yang baik makan setelah upacara bakti, akan terlepas dari segala dosa, tetapi
menyediakan makanan lezat hanya bagi sendiri, mereka ini sesungguhnya makan
dosa. ‘’ (BG. III.13)
Bisa membuat tumpeng berarti masuk Hindu? Ini
bombastis. Untuk menjadi Hindu ada proses ritualnya, di antaranya
upacara sudi widana dan mengucapkan Panca Sradha. Banyak orang muslim,
kristen dan Budha yang pandai membuat tumpeng, apakah itu berarti mereka
masuk Hindu?
Para Wali Menjiplak Weda?
Menanggapi
pertanyaan seorang jamaah mengenai film seri kartun ‘’Little
Krsna’’ di TV, Ustadz Abdul Aziz mengatakan, ‘’Hati-hati, awasi
anak-anak kita, itu cara-cara orang di luar muslim untuk melakukan cuci otak
terhadap anak-anak kita (muslim).’’ Sedangkan setahu saya,
cuci otak itu adalah cara teroris untuk merekrut anggota. Teroris itu siapa?
Tidak pernah ada di dalam Hindu gerakan cuci otak untuk
merekrut orang (agama) lain. Yang ada malah sebaliknya, orang di
luar Hindu yang sibuk melakukan gerakan konversi untuk
memperoleh tabungan pahala.
Benarkah para wali dulu mengubah (menjiplak) doa-doa Hindu ke
dalam bahasa Alquran?’’ Atas pertanyaan seorang jamaah lainnya ini,
Ustadz Abdul Aziz tidak kuasa menjawab. ‘’Saya tidak berani
menjawab pertanyan ini, karena saya tidak punya referensi sebagai dasar,’’
tangkisnya. Apa makna di balik kata tidak berani tersebut? Apa benar dia
tidak punya referensi?
Seorang ustadz yang mengaku telah belajar weda selama
25 tahun, tetapi referensi yang disampaikan kok malah
muter-muter soal tradisi melulu; acara selamatan, terobosan,
memayungi mayat, pohon pakai sarung, keris dan jimat minum kopi, membuat
tumpeng.
Padahal harus disadari, yang namanya tradisi tentulah
berbeda sesuai dengan desa, kala, patra (tempat, waktu
dan keadaan), baik di dalam satu agama apalagi beda agama. Semua agama punya
tradisi, termasuk di kalangan umat Islam. Tetapi sepanjang hal itu
dilakukan sebagai ungkapan rasa bhakti, rasa hormat dan doa, kenapa
tidak diapresiasi. Tidak ada dasar hukumnya (bida’ah)? Sekarang zaman
komputerisasi, di mana-mana orang pakai laptop, HP, pesawat terbang,
sepeda motor, apakah juga bida’ah menurut Islam?
Selama berceramah, tidak ada sepotong filsafatpun yang
terlontar dari mulut sang ustadz. Sementara esensi dari
ajaran Hindu ada pada filsafat. Di situ logika dimainkan, bukan
sekedar keyakinan semu dengan menelan mentah ayat-ayat.
Mantram Tryambakam adalah syair yang sakral dan memiliki
kekuatan (energi) gaib. Kalau sekedar ngusir nyamuk dan menghilangkan bau
busuk, ngapain harus melakukan yoga samadi sampai tujuh hari tujuh malam, cukup
dengan autan saja. Sedangkan di dalam melakukan yoga samadi, pada
tahap tertentu, berbagai bentuk godaan bisa saja muncul.
Namun hal itu bukanlah petunjuk Tuhan (hidayah), malah bila
kita tidak kuat bisa terjerumus.
Penulis: Sisya Grya Taman Narmada,
Lombok Barat.
HP. 08191718016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar