Orang-orang yang dikaruniai nikmatNya
Mereka mengatakan bahwa kami dalam tulisan banyak menyampaikan adanya
ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi. Semua ulama
yang menurut mereka tidak kami sukai disebut sebagai sekte atau firqoh
wahabi adalah korban ghazwul fikri (perang pemahaman).
Mereka bertanya apakah mereka tidak termasuk firqatun najiyah (firqah yang selamat) dan termasuk 72 firqoh yang di neraka.
Menurut mereka karena kami mengungkapkan, maka kami harus
mendatangkan fakta, kalau tidak maka kami telah memfitnah atau
setidaknya menuduh dan melecehkan para ulama panutan atau teladan mereka
Bukan kami yang berkuasa atau berhak menetapkan sekte (firqoh) mereka
ataupun sekte (firqoh) Wahabi adalah termasuk 72 firqoh yang di neraka.
Hanya Allah Azza wa Jalla yang menetapkan seorang manusia akan di
neraka sampai ketika mereka menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Sebelum manusia wafat bisa saja terjadi perubahan walaupun selama
hidupnya mengikuti yang menurut Allah Azza wa Jalla termasuk 72 firqoh
yang di neraka namun mendapatkan hidayah sehingga bertaubat dan kembali
kedalam firqatun najiyah (firqah yang selamat).
Kami hanya sekedar menyampaikan dan mengingatkan agar kita terhindar
dari hasutan atau menjadi korban ghazwul fikri (perang pemahaman) dari
kaum Zionis Yahudi.
Allah Azza wa Jalla menciptakan iblis adalah sebagaimana yang Dia kehendaki.
Allah Azza wa Jalla menciptakan kaum Yahudi atau yang dikenal sekarang
dengan kaum Zionis Yahudi atau freemason, iluminati, lucifier adalah
sebagaimana yang Dia kehendaki nya pula.
Kalau Allah Azza wa Jalla mau tentu Dia sanggup menciptakan manusia hanya satu kaum yang selalu beribadah kepadaNya.
Kaum Zionis Yahudi adalah pengikut syaitan sehingga mereka dimurkai oleh Allah ta’ala
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan setelah datang kepada
mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang
ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat)
melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka
tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). Dan mereka mengikuti
apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan
mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal
Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan
lah yang kafir (mengerjakan sihir).” (QS Al Baqarah [2]:101-102 )
Kaum Zions Yahudi pengikut syaitan sehingga mereka berupaya
mensesatkan manusia atau mengajak manusia untuk mengikuti mereka untuk
menjadi pengikut syaitan. Kaum Zionis Yahudi telah berhasil mensesatkan
kaum Nasrani.
Kaum Zionis Yahudi , Allah ta’ala menyampaikan dalam firmanNya yang arti “yaitu orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka yang dijadikan kera dan babi.” (QS al-Ma’idah [5]:60)
Kaum Nasrani, Allah ta’ala menyampaikan dalam firmanNya yang arti “Dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat
dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan
kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS al-Ma’idah: [5]:77)
Hadits yang diriwayatkan Sufyan bin Uyainah dengan sanadnya dari Adi
bin Hatim. Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Abu Dzar, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang yang dimurkai“, beliau bersabda, ‘Kaum Yahudi.’ Saya bertanya tentang orang-orang yang sesat, beliau bersabda, “Kaum Nasrani.“
Hamad bin Salamah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, dia berkata, “Saya
bertanya kepada RasulullahShallallahu alaihi wasallam ihwal ‘bukan
jalannya orang-orang yang dimurkai’. Beliau bersabda, “Yaitu kaum
Yahudi.’ Dan bertanya ihwal ‘bukan pula jalannya orang-orang yang
sesat’. “Beliau bersabda, ‘Kaum Nasrani adalah orang-orang yang sesat.’
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah,
yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal
aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula
Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah
dia ke dalam neraka.”
Kaum Zionis Yahudi, pengikut syaitan tentu tidak hanya kaum Nasrani
yang mereka sesatkan, oleh karenanya mereka berupaya melakukan hasutan
atau ghazwul fikri (perang pemahaman) terhadap kaum muslim agar tidak
termasuk firqatun najiyah dan masuk kedalam 72 Firqah yang di neraka.
72 Firqah yang di neraka bukan berjumlah hanya 72 firqah saja namun
jumlahnya banyak namun jika diklasifikasi maka mereka akan mempunyai
kesamaan sehingga berjumlah 72 firqah.
72 Firqoh atau sekte yang di neraka adalah orang-orang yang mengikuti
pemahaman ulama korban ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum
Zionis Yahudi yang pemahamannya telah menyempal atau telah keluar
(kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham).
Bagi orang-orang yang pemahamannya telah menyempal atau telah keluar
(kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham)
disebut juga sebagai khawarij. Khawarij adalah bentuk jamak (plural)
dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“إِنَّ اللهَ لَا يُجْمِعُ أُمَّةِ عَلَى ضَلَالَةٍ وَيَدُ اللهِ مَعَ الجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ”
“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan.
Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan, maka
ia menyeleweng ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku
tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian
melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas
kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al
Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir,
ini adalah hadits Shohih)
Ibnu Mas’ud radhiallahuanhu mewasiatkan yang artinya: ”Al-Jama’ah adalah sesuatu yang menetapi al-haq walaupun engkau seorang diri”
Maksudnya tetaplah mengikuti Al-Jamaah atau as-sawad al a’zham (mayoritas
kaum muslim) walaupun tinggal seorang diri di suatu tempat yang
terpisah. Hindarilah firqoh atau sekte yakni orang-orang yang mengikuti
pemahaman seorang ulama yang telah keluar (kharaja) dari pemahaman
mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham).
Dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk
berpegang teguh pada Jama’ah, karena Allah tidak akan mengumpulkan umat
Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits
dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia
berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah
satu firqah/sekte. Hindarilah semua firqah/sekte itu jika kalian mampu
untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.
Sekte-sekte atau firqoh-firqoh itu dibentuk oleh ulama banga Arab sendiri.
Khudzaifah Ibnul Yaman berkata, “Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka!”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab “Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita (bahasa Arab)“.
Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu?”
Nabi menjawab; “Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka!”
Aku bertanya; “kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana?”
Nabi menjawab; “hendaklah kau jauhi seluruh firqah
(kelompok-kelompok) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga
kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu” (HR Bukhari 6557, HR Muslim 3434)
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.
Ulama banga Arab tersebut tentu mengerti bahasa Arab namun mereka
tidak memperhatikan bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah diturunkan Allah dan
disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab
yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan
dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan
dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang
bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah
(ma’ani, bayan dan badi’).
Jika ingin menggali sendiri hukum-hukum dari Al Qur’an dan Hadits,
selain menguasai nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’)
diperlukan kompetensi seperti
a. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak,
bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan
as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan
as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada lafadz nash, ada lafadz
dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada
yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada
majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. Semua itu masing-masing
mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
b. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
c. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab
an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad,
baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan
yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
d. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Jika belum berkompetensi menggali sendiri dari Al Qur’an dan Hadits
maka ikutilah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang
membawa hadits” yakni para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab
yang empat
Allah ta’ala berfirman yang artinya “Orang-orang yang terdahulu
lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya
selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar“. (QS at Taubah [9]:100)
Dari firmanNya tersebut dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang
diridhoi oleh Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang mengikuti
Salafush Sholeh.
Sedangkan orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh yang paling awal
dan utama adalah Imam Mazhab yang empat karena Imam Mazhab yang empat
bertemu dan bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh sehingga Imam
Mazhab yang empat mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh dari lisannya
langsung dan Imam Mazhab yang empat melihat langsung cara beribadah atau
manhaj Salafush Sholeh.
Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan
“orang-orang yang membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush Sholeh
yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam
Jadi kalau kita ingin bertemu dan bertalaqqi (mengaji) dengan
Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka kita
menemui dan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh dari
kalangan “orang-orang yang membawa hadits”
Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa
hadits” adalah para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari
Imam Mazhab yang empat
Para ulama yang sholeh yang mengikuti dari Imam Mazhab yang empat
adalah para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu
(sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh
yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.
Bahkan kalau melalui para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait,
keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada umumnya
memiliki ketersambungan dengan lisannya Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam melalui dua jalur yakni
1. Melalui nasab (silsilah / keturunan). Pengajaran agama baik
disampaikan melalui lisan maupun praktek yang diterima dari orang
tua-orang tua mereka terdahulu tersambung kepada Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam
2. Melalui sanad ilmu atau sanad guru. Pengajaran agama dengan
bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam
Mazhab yang empat yakni para ulama yang sholeh memiliki ilmu riwayah dan
dirayah dari Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang
memiliki ketersambungan sanad ilmu atau sanad guru dengan Imam Mazhab
yang empat
Sehingga para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan
cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih terjaga kemutawatiran
sanad, kemurnian agama dan akidahnya.
Jadi jelaslah salah satu hasutan atau ghazwul fikri (perang
pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi adalah agar kaum muslim menyibukkan
diri atau membuang-buang waktu mengulang kembali apa yang telah
dikerjakan oleh Imam Mazhab yang empat namun mereka tidak berkompetensi
untuk menggali sendiri dari Al Qur’an dan Hadits.
Begitupula sumber atau bahan untuk menggali sendiri dari Al Qur’an
dan Hadits sudah tidak mencukupi lagi untuk menjadi Imam Mujtahid Mutlak
sehingga pendapat atau pemahamanya dapat diikuti oleh kaum muslim yang
lain karena jumlah hadits yang telah dibukukan hanya sebagian kecil saja
dari jumlah hadits yang sebenarnya.
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat adalah perbedaan yang
dapat diterima karena mereka berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak
atau ahli istidlal. Perbedaan diantara kita orang awam (yang bukan ahli
istidlal) kemungkinan besar adalah sebuah kesalahpahaman atau salah
memahami Al Qur’an dan Hadits.
Salah satu hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum
Zionis Yahudi lainnya adalah mengharamkan taqlid dengan Imam Mazhab yang
empat dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat
orang disertai mengetahui dalil-dalilnya.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal)
sama saja dengan tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala
syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).
Apabila si awam (yang bukan ahli istidlal) menerima fatwa orang yang
mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima
fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian
mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang
tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin
adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang
lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya
mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa
dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang
penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak
termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin
adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.
Suatu ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengadu kepada
Tuhan: “Aku akan meninggalkan dunia ini, Aku akan meninggalkan umatku.
Siapakah yang akan menuntun mereka setelahku? Bagaimana nasib mereka
sesudahku?”, Allah lalu menurunkan firman-Nya :
” وآتيناك سبعا من المثاني والقرآن العظيم “
Jangan khawatir, Aku telah mengaruniakanmu Assab’ul-matsani dan
al-Qur’an yang agung. Dengan keduanya maka umat islam sesudahmu akan
selamat dari kesesatan (bila mereka berpegang kepadanya).
Assab’ul-matsani dan al-Qur’an, dua pegangan yang menyelamatkan kita
dari kesesatan, dua perkara yang telah membuat Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam tenang meninggalkan umat.
Al Qur’an kita telah mengetahuinya lalu apakah yang dimaksud dengan Assab’ul-matsani ?
“Sab’an minal-matsani” terdiri dari tiga kata; Sab’an, Min dan
al-Matsani. Sab’an berarti tujuh. Min berarti dari. Sementara al-Matsani
adalah bentuk jama’ dari Matsna yang artinya dua-dua. Dengan demikian
maka Matsani berarti empat-empat (berkelompok-kelompok, setiap kelompok
terdiri dari empat).
Kelompok-kelompok itu amat banyak, namun Allah hanya menyebutkan /
mengutus tujuh kelompok saja dari kelompok-kelompok itu (sebagai
pemimpin matsani yang lain) “Sab’an minal-matsani”; Tujuh kelompok dari
kelompok-kelompok al-Matsani.
Tujuh kelompok itulah yang disebut dan dimaksud dengan Assab’ul-matsani, yang mana setiap kelompok terdiri dari empat orang.
Tujuh kelompok itulah yang bertugas melayani Rasul dan umat sejak awal penciptaan sampai kiamat menjelang.
Tujuh kelompok itulah yang akan menunjuki umat ke jalan yang benar.
Tujuh kelompok itulah yang akan membimbing umat dalam mengamalkan al-Qur’an.
Tujuh kelompok itulah yang akan meneruskan dan mewarisi perjuangan Rasululllah shallallahu alaihi wasallam
Tujuh kelompok itulah yang bila diikuti, dipegang dan ditaati umat maka selamatlah mereka dari kesesatan.
Tujuh kelompok itulah pelayan-pelayan Rasul dan umat sampai hari kiamat (maupun sesudahnya).
Allah berfirman: “Wa atainaka sab’an minal-matsani
wal-Qur’anal-azim”; Aku telah mengutus demi kamu hai Muhammad tujuh
kelompok matsani yang akan melayanimu dan melayani umatmu, Akupun telah
menurunkan al-Qur’an agar menjadi pegangan kedua bagi umatmu”.
Mengapa al-Qur’an dinomorduakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala
Jawabannya adalah karena seorang penunjuk lebih diutamakan dari pada sebuah buku petunjuk. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
” قد جاءكم من الله نور وكتاب مبين “
Telah datang kepadamu: (1) seorang Rasul, dan (2) al-Qur’an. Maka
Rasul itu lebih penting dari pada al-Qur’an, sebab al-Qur’an (buku
petunjuk) tidak akan difahami dengan benar tanpa Rasul (seorang
penunjuk).
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
” فالذين آمنوا به وعزروه ونصروه واتبعوا النور الذي أنزل معه أولئك هم المفلحون “
Orang-orang yang beruntung adalah apabila mereka: (1) beriman kepada
Nabi Muhammad, (2) memuliakannya (3) membelanya, kemudian (4) mengikuti
kitab suci yang dibawanya. Maka haruslah kita mencari seorang penunjuk,
kemudian mencintainya, menghormatinya, membelanya, mengagung-agungkannya
dan mentaatinya, setelah itu barulah kita mengikuti buku petunjuk yang
ia bawa.
Dari itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala mendahulukan Assab’ul-matsani
sebelum al-Qur’an. Bukan karena al-Qur’an itu tidak penting, melainkan
karena tanpa seorang penerang dan penunjuk maka al-Qur’an tak dapat
difahami dengan benar dan tak dapat diamalkan dengan baik.
Siapakah Assab’ul-matsani itu? siapa saja kelompok-kelompok itu?
Imam Mazhab yang empat termasuk kedalam Assab’ul-matsani sebagaimana
yang disampaikan Syekh Mukhtar ra yang menyebutkan bahwasanya tujuh
kelompok (Assab’ul-matsani) tersebut adalah sebagai berikut:
1. Empat pemimpin para mala’ikat Kurubiyyin / Alin / Haffin hawlal-arsy.
2. Empat pemimpin para mala’ikat Falakiyyin : Jibril, Mika’il, Israfil dan Izra’il Alaihimussalam.
3. Empat pemimpin para nabi dan rasul yang disebut dengan Ulul-azmi :
Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Isa Alaihimussalam.
4. Empat Pemimpin para sahabat Rasul yang disebut dengan Khulafa’
rasyidin : Sayyidina Abu Bakr, Sayyidina Umar bin Khaththab, Sayyidina
Utsman bin Affan dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radliallahu anhum
ajma’in.
5. Empat pemimpin para penulis wahyu (al-Qur’an) yang disebut dengan
al-Abadilah / Abadilatul-Qur’an: Sayyidina Abdullah bin Umar, Sayyidina
Abdullah bin Azzubair, Sayyidina Abdullah bin Mas’ud dan Sayyidina
Abdullah bin Abbas Radliallahu anhum ajma’in.
6. Empat pemimpin para imam syari’at (mazhab fiqh) yang disebut
dengan al-A’immah al-Arba’ah / A’immatul-mazahibil-arba’ah : Imam Abu
Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asysyafi’i dan
Imam Ahmad bin Hanbal Radliallahu anhum ajma’in.
7. Empat pemimpin para imam atau pemimpin para auliya’ullah yang
disebut dengan al-Aqthab al-Arba’ah (empat wali kutub) /
A’immatuththariqah wal-haqiqah setiap zaman sampai akhir zaman.
Contohnya adalah Syekh Ahmad Arrifa’i, Syekh Abdul-Qadir al-Jailani,
Syekh Ahmad al-Badawi dan Syekh Ibrahim Addusuqi Radliallahu anhum
ajma’in dan seterusnya.
Kaum muslim ada yang tidak mengenal kelompom yang ke tujuh.
Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku
itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat
kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya”
Abu Yazid al Busthami mengatakan: “Para wali Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya“.
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab: “Allah
tidak akan memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa
dengan mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari
mereka – untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.”
As Sarraj at-Tusi mengatakan : “Jika ada yang menanyakan kepadamu
perihal siapa sebenarnya wali itu dan bagaimana sifat mereka, maka
jawablah : Mereka adalah orang yang tahu tentang Allah dan hukum-hukum
Allah, dan mengamalkan apa yang diajakrkan Allah kepada mereka. Mereka
adalah hamba-hamba Allah yang tulus dan wali-wali-Nya yang bertakwa“.
Dari Abu Umamah ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “berfirman
Allah Yang Maha Besar dan Agung: “Diantara para wali-Ku di hadhirat-Ku,
yang paling menerbitkan iri-hati ialah si mu’min yang kurang hartanya,
yang menemukan nasib hidupnya dalam shalat, yang paling baik ibadat
kepada Tuhannya, dan taat kepada-Nya dalam keadaan tersembunyi maupun
terang. Ia tak terlihat di antara khalayak, tak tertuding dengan
telunjuk. Rezekinya secukupnya, tetapi iapun sabar dengan hal itu. Kemudian Beliau shallallahu alaihi wasallam menjentikkan jarinya, lalu bersabda: ”Kematiannya dipercepat, tangisnya hanya sedikit dan peninggalannya amat kurangnya”. (HR. At Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hanbal)”. (HR. At Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hanbal)
Bumi ini tidak akan kosong dari Imam Wali Allah dan para Wali Allah.
Setiap mereka wafat maka Allah Azza wa Jalla akan menggantikan mereka
dengan yang lain sehingga agama Islam beserta Al Qur’an tetap terjaga
sampai akhir zaman
Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i:
“Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamba Allah yang menegakkan agama
Allah dengan penuh keberanian dan keikhlasan, sehingga agama Allah
tidak akan punah dari peredarannya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka
dan dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui
tentang mereka. Demi Allah, jumlah mereka tidak banyak, tetapi nilai
mereka di sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah menjaga agamaNya
dan syariatNya, sampai dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka.
Mereka menyebarkan ilmu dan ruh keyakinan. Mereka tidak suka kemewahan,
mereka senang dengan kesederhanaan. Meskipun tubuh mereka berada di
dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam malakut. Mereka adalah
khalifah-khalifah Allah di muka bumi dan para da’i kepada agamaNya yang
lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada mereka”
Dalam sebuah hadits Rasul menyebutkan bahwa Assab’ul-matsani itu
adalah surat Fatihah. Itu benar, namun yang dimaksud oleh hadits
tersebut adalah bahwasanya Assab’ul-matsani (tujuh kelompok) itu telah
diisyaratkan oleh salah satu ayat dalam surat Fatihah, tepatnya pada
firman-Nya :
” اهدنا الصراط المستقيم صراط الذين أنعمت عليهم “
Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang
yang Engkau karuniai nikmat. Mereka itulah Assba’ul-matsani, sebagaimana
firman Allah :
” الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين وحسن أولئك رفيقا “
Orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah adalah: Para nabi, para
shiddiqin, para syuhada’ dan orang-orang shalih, mereka itulah
sebaik-baik teman. Mereka itulah Assab’ul-matsani.
Shiddiqin adalah muslim yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan
hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat. Bermacam-macam
tingkatan shiddiqin sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah
Muslim yang bermakrifat atau muslim yang menyaksikan Allah ta’ala
dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu meyakini
kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu
yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan
ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan
menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat
ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid
(penyaksi)”
Jika belum dapat bermakrifat yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau
menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu
melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya
(bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi
oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah dengan
hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga
mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari
perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga dia
dekat dengan Allah ta’ala karena berakhlakul karimah meneladani manusia
yang paing mulia Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
Imam Sayyidina Ali ra berpesan, “Allah subhanahu wa ta’ala telah
menjadikan akhlak mulia sebagai perantara antara Dia dan hambaNya. Oleh
karena itu,berpeganglah pada akhlak, yang langsung menghubungkan anda
kepada Allah”
Manusia terhubung kepada Allah ta’ala sehingga dekat denganNya adalah dengan akhlak yang baik
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa
yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak
bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi
semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka
semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah
dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah
kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45).
Muslim yang dekat Allah ta’ala adalah yang dengan sholat mencegahnya
dari perbuatan yang dibenciNya, mencegahnya dari perbuatan yang maksiat
dan mencegahnya dari perbuatan yang keji dan mungkar hingga terbentuklah
muslim yang berakhlakul karimah
Muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang sholeh (sholihin),
muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) adalah yang kelak akan berkumpul
dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para Nabi, para
Shiddiqin dan Syuhada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya ada di
antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan
bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’
pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya berkata, “siapa gerangan
mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka“. Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya: “Mereka adalah
suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan
karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda,
wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas
mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia
merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka
cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada
manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula
syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam
mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.” Seorang laki-laki
bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami
menyukainya“. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena
Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka
itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh
wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya,
dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak
susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ”
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus
[10]:62)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
ِللهِ ضَنَائِنَ مِنْ عِبَادِهِ يُعْذِيْهِمْ فِى رَحْمَتِهِ
وَيُحْيِيْهِمْ فِى عَافِيَتِهِ اِذَا تَوَافَّاهُمْ تَوَافاَّهُمْ اِلَى
جَنَّتِهِ اُولَئِكَ الَّذِيْنَ تَمُرُّ عَلَيْهِمُ الْفِتَنُ كَقَطْعِ
اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ وَهُوَ مِنْهَا فِى عَافِيَةٍ
“Sesungguhnya bagi Allah ada orang-orang yang baik (yang tidak
pernah menonjolkan diri) di antara para hamba-Nya yang dipelihara dalam
kasih sayang dan dihidupkan di dalam afiat. Apabila mereka diwafatkan,
niscaya dimasukkan kedalam surganya. Mereka terkena fitnah atau ujian,
sehingga mereka seperti berjalan di sebagian malam yang gelap, sedang
mereka selamat daripadanya“. (Hadits riwayat Abu Nu’aim dalam kitab Al Hilya jilid I hal 6).
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar