Bid’ah
Nabi saw memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah
Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik
dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw : “Barangsiapa
membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala
orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan
barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya
dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya”
(Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn
Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak
lagi).
Bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu
salah, karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat ayat lain turun, masalah
hutang dll, berkata para Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah Almukarramah
sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim,
mulai kejadian turunnya ayat ini maka Musyrikin tidak lagi masuk masjidil
haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik boleh boleh saja.
Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan
dengan syariah dan sunnah Rasul saw, atau menghalalkan apa apa yang sudah
diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya, inilah makna hadits beliau
saw : “Barangsiapa yang membuat buat hal baru yang berupa keburukan...dst”,
inilah yang disebut Bid’ah Dhalalah.
Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang,
maka beliau saw memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan),
menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak
tercekik dengan hal yang ada dizaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw
telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid’ah
dhalalah). Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus
untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam
pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas jelas tak menyebutkan pembatasan
hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para
Sahabat dan Tabi’in.
Siapakah yang pertama memulai Bid’ah hasanah setelah wafatnya Rasul saw?
Ketika terjadi pembunuhan besar besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah)
yang mereka itu para Huffadh (yang hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah
Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit
ra : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan
atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para
Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan
dan menulis Alqur’an, aku berkata : Bagaimana aku berbuat suatu hal yang
tidak diperbuat oleh Rasulullah..?, maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah
ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku
sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan
Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak
pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah
Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!”
Berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan
sebuah gunung daripada gunung gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk
mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak
diperbuat oleh Rasulullah saw?”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu
adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan
aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai
mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768).
Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar shiddiq ra
mengakui dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku
setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”, hatinya jernih menerima hal yang
baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya alqur’an
belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah pisah di hafalan sahabat,
ada yang tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dll, ini adalah Bid’ah
hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya.
Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan)
Bid’ah hasanah mengenai semua bid’ah adalah kesesatan, diriwayatkan bahwa Rasul
saw selepas melakukan shalat subuh beliau saw menghadap kami dan menyampaikan
ceramah yang membuat hati berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami
berkata : “Wahai Rasulullah.. seakan akan ini adalah wasiat untuk
perpisahan…, maka beri wasiatlah kami..” maka rasul saw bersabda :
“Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah
walaupun kalian dipimpin oleh seorang Budak afrika, sungguh diantara kalian
yang berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf perbedaan pendapat,
maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yang mereka
itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan
untuk kesungguhan), dan hati hatilah dengan hal hal yang baru, sungguh semua
yang Bid;ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak Alasshahihain hadits no.329).
Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah
beliau dan sunnah khulafa’urrasyidin, dan sunnah beliau saw telah
memperbolehkan hal yang baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan
sunnah khulafa’urrasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abubakar shiddiq
ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan
hal yang baru, yang tidak dilakukan oleh Rasul saw yaitu pembukuan Alqur’an,
lalu pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan persetujuan
dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw.
Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini,
khulafa’urrasyidin melakukan bid’ah hasanah, Abubakar shiddiq ra dimasa
kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar bin
Khattab ra pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan
seraya berkata : “Inilah sebaik baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari hadits
no.1906) lalu pula selesai penulisan Alqur’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan
ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi
Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu.
Demikian pula hal yang dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw adalah dua kali
adzan di Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa Rasul saw, tidak dimasa
Khalifah Abubakar shiddiq ra, tidak pula dimasa Umar bin khattab ra dan baru
dilakukan dimasa Utsman bin Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih
Bulkhari hadits no.873). Siapakah yang salah dan tertuduh?, siapakah yang lebih
mengerti larangan Bid’ah?, adakah pendapat mengatakan bahwa keempat
Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna Bid’ah?
Bid’ah Dhalalah
Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid’ah hasanah inilah yang
termasuk pada golongan Bid’ah dhalalah, dan Bid’ah dhalalah ini banyak
jenisnya, seperti penafikan sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan
pendapat Khulafa’urrasyidin, nah…diantaranya adalah penolakan atas hal baru
selama itu baik dan tak melanggar syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan
oleh Rasul saw dan dilakukan oleh Khulafa’urrasyidin, dan Rasul saw telah jelas
jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada
Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin, bagaimana Sunnah Rasul saw?, beliau saw
membolehkan Bid’ah hasanah, bagaimana sunnah Khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan
Bid’ah hasanah, maka penolakan atas hal inilah yang merupakan Bid’ah dhalalah,
hal yang telah diperingatkan oleh Rasul saw.
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah hasanah, maka kita telah
menafikan dan membid’ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan
ajaran pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits)
tidak ada perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab
masing-masing, melainkan hal itu merupakan ijma/kesepakatan pendapat para Sahabat
Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat.
Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim dll inipun tak pernah ada
perintah Rasul saw untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin
memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw.
Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita
dapat memahami kedudukan derajat hadits, ini semua adalah perbuatan Bid’ah
namun Bid’ah Hasanah.
Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak pernah
diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut
dalam Al-Quran bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah, namun tak ada
dalam Ayat atau hadits Rasul saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk
sahabatnya, namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka
menambahinya dengan ucapan tersebut. Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan
dalil Hadits di atas, Lalu muncul pula kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD
kan, Program Al-Quran di handphone, Al- Quran yang diterjemahkan, ini semua
adalah Bid’ah hasanah.
Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin,
karena dengan adanya Bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk
mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal Al-
Quran dan tidak ada yang memungkirinya.
Sekarang kalau kita menarik mundur kebelakang sejarah Islam, bila Al-Quran
tidak dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada
perkembangan sejarah Islam ? Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok,
di kulit onta, hafalan para Sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan, maka
akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena semua orang
akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya
sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya
Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan
adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah saw,
maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi, jelaslah sudah sabda Rasul saw yang
telah membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal hal
baru yang berupa kebaikan (Bid’ah hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau
saw telah melarang hal hal baru yang berupa keburukan (Bid’ah dhalalah).
Saudara saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan
Amirulmukminin pertama ini, ketahuilah ucapan ucapannya adalah Mutiara
Alqur’an, sosok agung Abubakar Ashiddiq ra berkata mengenai Bid’ah
hasanah : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku
sependapat dengan Umar”. Lalu berkata pula Zeyd bin haritsah
ra :”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yang
tak diperbuat oleh Rasulullah saw?, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal
itu adalah kebaikan, hingga iapun(Abubakar ra) meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah
menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka
berdua”.
Maka kuhimbau saudara saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih
menerima hal hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar shiddiq
ra, hati Umar bin Khattab ra, hati Zeyd bin haritsah ra, hati para sahabat,
yaitu hati yang dijernihkan Allah swt, Dan curigalah pada dirimu bila kau
temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum dijernihkan
Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan pendapat
mereka, masih menolak bid’ah hasanah, dan Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa
akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan
khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham yang maksudnya berpeganglah erat erat
pada tuntunanku dan tuntunan mereka.
Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan
sependapat dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan
ra, Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat.. amiin
Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah
1. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah
(Imam Syafii) Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah
mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan
sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela,
beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat
tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal
86-87)
2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi
berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk buruk
permasalahan adalah hal yang baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa
syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah
hal hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan
Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh
hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam,
maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang
sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk
dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih
Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah
yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
3. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy
rahimahullah (Imam Nawawi) “Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa
membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala
orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan
barangsiapa membuat buat hal baru yang dosanya”, hadits ini merupakan anjuran
untuk membuat kebiasaan kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat
kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda
beliau saw : “semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah
sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang
tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105) Dan berkata
pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yang wajib,
Bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang
haram.
Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil dalil pada ucapan
ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala
bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku
buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yang
Mubah adalah bermacam macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram
sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna
yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2
bid’ah”.
(Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155) Al Hafidh AL
Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah Mengenai
hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang umum
yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan
segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur,
(*atau pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi
jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan pada
kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna
keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau
hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya
kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3
hal 189).
Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan
pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati hati darimanakah ilmu
mereka?, berdasarkan apa pemahaman mereka?, atau seorang yang disebut imam
padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits?, atau hanya ucapan orang
yang tak punya sanad, hanya menukil menukil hadits dan mentakwilkan semaunya
tanpa memperdulikan fatwa fatwa para Imam?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar