HADITS DHO’IF Hadits Dhoif adalah hadits yang lemah hukum sanad
periwayatnya atau pada hukum matannya, mengenai beramal dengan hadits dhaif
merupakan hal yang diperbolehkan oleh para Ulama Muhadditsin, Hadits dhoif tak
dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak sepantasnya kita
menafikan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak pembagiannya,
Dan telah sepakat jumhur para ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan
berlandaskan dengan hadits dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullah, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita
dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama
Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa
berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan hukum
thaharah.
Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau
pada matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena
hadits palsu dinamai hadits munkar, atau mardud, Batil, maka tidak sepantasnya
kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan
(menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai
ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan keseluruhannya,
karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu berarti
mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur.
Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa yang sengaja berdusta
dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap siap mengambil tempatnya di
neraka" (Shahih Bukhari hadits no.110), Sabda beliau SAW pula :
"sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang,
barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap mengambil
tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits no.1229), Cobalah anda
bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti
mereka melarang sebagian ucapan / sunnah Rasul saw, dan mendustakan ucapan
Rasul saw.
Wahai saudaraku ketahuilah, bahwa hukum hadits dan Ilmu hadits itu tak ada
di zaman Rasulullah saw, ilmu hadits itu adalah Bid'ah hasanah, baru ada sejak
Tabi'in, mereka membuat syarat perawi hadits, mereka membuat kategori periwayat
yang hilang dan tak dikenal, namun mereka sangat berhati hati karena mereka
mengerti hukum, bila mereka salah walau satu huruf saja, mereka bisa menjebak
ummat hingga akhir zaman dalam kekufuran, maka tak sembarang orang menjadi
muhaddits, lain dengan mereka ini yang dengan ringan saja melecehkan hadits
Rasulullah saw.
Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa kini
yang mengaku ngaku sebagai pakar hadits, seorang ahli hadits mestilah telah
mencapai derajat Alhafidh, alhafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah
hafal 100 ribu hadits berikut hukum sanad dan matannya, sedangkan 1 hadits yang
bila panjangnya hanya sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis
berikut hukum sanad dan hukum matannya, lalu bagaimana dengan yang hafal 100
ribu hadits?.
Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang disebut Alhujjah, yaitu
yang hafal 300 ribu hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya, diatasnya
adalagi yang disebut
Hakim, yaitu yang pakar hadits yang sudah melewati derajat Ahafidh dan
Alhujjah,
dan mereka memahami banyak lagi hadits hadits yang teriwayatkan. (Hasyiah
Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al
Atsqalaniy).
Diatasnya lagi adalah derajat Imam, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yang
hafal 1 juta hadits dengan sanad dan matannya, dan Ia adalah murid dari Imam
Syafii rahimahullah, dan dizaman itu terdapat ratusan Imam imam pakar hadits.
Perlu diketahui bahwa Imam Syafii ini lahir jauh sebelum Imam Bukhari, Imam
Syafii lahir pada th 150 Hijriyah dan wafat pada th 204 Hijriyah, sedangkan
Imam Bukhari lahir pada th 194 Hijriyah dan wafat pada 256 Hijriyah, maka
sebagaimana sebagian kelompok banyak yang meremehkan Imam syafii, dan
menjatuhkan fatwa fatwa Imam syafii dengan berdalilkan shahih Bukhari, maka hal
ini salah besar, karena Imam Syafii sudah menjadi Imam sebelum usianya mencapai
40 tahun, maka ia telah menjadi Imam besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia.
Lalu bagaimana dengan saudara saudara kita masa kini yang mengeluarkan
fatwa dan pendapat kepada hadits hadits yang diriwayatkan oleh para Imam ini?,
mereka menusuk fatwa Imam Syafii, menyalahkan hadits riwayat Imam Imam lainnya,
seorang periwayat mengatakan hadits ini dhoif, maka muncul mereka ini memberi
fatwa bahwa hadits itu munkar, darimanakah ilmu mereka?, apa yang mereka fahami
dari ilmu hadits?, hanya menukil nukil dari beberapa buku saja lalu mereka
sudah berani berfatwa, apalagi bila mereka yang hanya menukil dari buku buku
terjemah, memang boleh boleh saja dijadikan tambahan pengetahuan, namun buku
terjemah ini sangat dhoif bila untuk dijadikan dalil.
Saudara saudaraku yang kumuliakan, kita tak bisa berfatwa dengan buku buku,
karena buku tak bisa dijadikan rujukan untuk mengalahkan fatwa para Imam
terdahulu, bukanlah berarti kita tak boleh membaca buku, namun maksud saya
bahwa buku yang ada zaman sekarang ini adalah pedoman paling lemah dibandingkan
dengan fatwa-fatwa Imam Imam terdahulu, terlebih lagi apabila yang dijadikan
rujukan untuk merubuhkan fatwa para imam adalah buku terjemahan. Sungguh buku
buku terjemahan itu telah terperangkap dengan pemahaman si penerjemah, maka
bila kita bicara misalnya terjemahan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, sedangkan
Imam Ahmad bin Hanbal ini hafal 1 juta hadits, lalu berapa luas pemahaman si
penerjemah yang ingin menerjemahkan keluasan ilmu Imam Ahmad dalam
terjemahannya?
Bagaimana tidak, sungguh sudah sangat banyak hadits hadits yang sirna masa
kini, bila kita melihat satu contoh kecil saja, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal
hafal 1 juta hadits, lalu kemana hadits hadits itu?, Imam Ahmad bin Hanbal
dalam Musnad haditsnya hanya tertuliskan hingga hadits no.27.688, maka kira
kira 970 ribu hadits yang dihafalnya itu tak sempat ditulis…! Lalu bagaimana
dengan ratusan Imam dan Huffadh lainnya?, lalu logika kita, berapa juta hadits
yang sirna dan tak sempat tertuliskan?, mengapa?
Tentunya dimasa itu tak semudah sekarang, kitab mereka itu ditulis tangan,
bayangkan saja seorang Imam besar yang menghadapi ribuan murid2nya, menghadapi
ratusan pertanyaan setiap harinya, banyak beribadah dimalam hari, harus pula
menyempatkan waktu menulis hadits dengan pena bulu ayam dengan tinta cair
ditengah redupnya cahaya lilin atau lentera, atau hadits hadits itu ditulis
oleh murid2nya dengan mungkin 10 hadits yang ia dengar hanya hafal 1 atau 2
hadits saja karena setiap hadits menjadi sangat panjang bila dengan riwayat
sanad, hukum sanad, dan mustanadnya. Bayangkan betapa sulitnya perluasan ilmu
saat itu, mereka tak ada surat kabar, tak ada telepon, tak ada internet, bahkan
barangkali pos jasa surat pun belum ada, tak ada pula percetakan buku, fotocopy
atau buku yang diperjualbelikan. Penyebaran ilmu dimasa itu adalah dengan
ucapan dari guru kepada muridnya (talaqqiy), dan saat itu buku hanyalah 1% saja
atau kurang dibanding ilmu yang ada pada mereka.
Lalu murid mereka mungkin tak mampu menghafal hadits seperti gurunya, namun
paling tidak ia melihat tingkah laku gurunya, dan mereka itu adalah kaum
shalihin, suci dari kejahatan syariah, karena di masa itu seorang yang
menyeleweng dari syariah akan segera diketahui karena banyaknya ulama.
Oleh sebab itu sanad guru jauh lebih kuat daripada pedoman buku, karena
guru itu berjumpa dengan gurunya, melihat gurunya, menyaksikan ibadahnya,
sebagaimana ibadah yang tertulis di buku, mereka tak hanya membaca, tapi
melihat langsung dari gurunya, maka selayaknya kita tidak berguru kepada
sembarang guru, kita mesti selektif dalam mencari guru, karena bila gurumu
salah maka ibadahmu salah pula. Maka hendaknya kita memilih guru yang mempunyai
sanad silsilah guru, yaitu ia mempunyai riwayat guru guru yang bersambung hingga
Rasul saw.
Hingga kini kita ahlussunnah waljamaah lebih berpegang kepada silsilah guru
daripada buku buku, walaupun kita masih merujuk pada buku dan kitab, namun kita
tak berpedoman penuh pada buku semata, kita berpedoman kepada guru guru yang
bersambung sanadnya kepada Nabi saw, ataupun kita berpegang pada buku yang
penulisnya mempunyai sanad guru hingga nabi saw.
Maka bila misalnya kita menemukan ucapan Imam Syafii, dan Imam Syafii tak
sebutkan dalilnya, apakah kita mendustakannya?, cukuplah sosok Imam Syafii yang
demikian mulia dan tinggi pemahaman ilmu syariahnya, lalu ucapan fatwa fatwanya
itu diteliti dan dilewati oleh ratusan murid2nya dan ratusan Imam sesudah
beliau, maka itu sebagai dalil atas jawabannya bahwa ia mustahil mengada ada
dan membuat buat hukum semaunya.
Maka muncullah dimasa kini pendapat pendapat dari beberapa saudara kita
yang membaca satu dua buku, lalu berfatwa bahwa ucapan Imam Syafii Dhoif,
ucapan Imam hakim dhoif, hadits ini munkar, hadits itu palsu, hadits ini batil,
hadits itu mardud, atau berfatwa dengan semaunya dan fatwa fatwa mereka itu tak
ada para Imam dan Muhaddits yang menelusurinya sebagaimana Imam imam terdahulu
yang bila fatwanya salah maka sudah diluruskan oleh imam imam berikutnya.
Sebagaimana berkata Imam Syafii : “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad
guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu baker digelapnya malam, ia membawa
pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu”
(Faidhul Qadir juz 1 hal 433), berkata pula Imam Atsauri : “Sanad adalah
senjata orang mukmin, maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan
berperang?”, berkata pula Imam Ibnul Mubarak : “Pelajar ilmu yang tak
punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah
muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433) Semakin dangkal
ilmu seseorang, maka tentunya ia semakin mudah berfatwa dan menghukumi, semakin
ahli dan tingginya ilmu seseorang, maka semakin ia berhati hati dalam berfatwa
dan tidak ceroboh dalam menghukumi.
Maka fahamlah kita, bahwa mereka mereka yang segera menafikan / menghapus
hadits dhoif maka mereka itulah yang dangkal pemahaman haditsnya, mereka tak
tahu mana hadits dhoif yang palsu dan mana hadits dhoif yang masih tsiqah untuk
diamalkan, contohnya hadits dhoif yang periwayatnya maqthu’ (terputus), maka
dihukumi dhoif, tapi makna haditsnya misalnya keutamaan suatu amal, maka para
Muhaddits akan melihat para perawinya, bila para perawinya orang orang yang
shahih, tsiqah, apalagi ulama hadits, maka hadits itu diterima walau tetap
dhoif, namun boleh diamalkan karena perawinya orang orang terpercaya, Cuma satu
saja yang hilang, dan yang lainnya diakui kejujurannya, maka mustahil mereka
dusta atas hadits Rasul saw, namun tetap dihukumi dhoif, dan masih banyak lagi
contoh contoh lainnya, Masya Allah dari gelapnya kebodohan.. sebagaimana ucapan
para ulama salaf : “dalam kebodohan itu adalah kematian sebelum kematian,
dan tubuh mereka telah terkubur (oleh dosa dan kebodohan) sebelum dikuburkan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar